Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan melalui CATAHU 2018 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual mencakup 31% dalam kasus kekerasan di ranah privat yang berarti sejumlah 2979 kasus kekerasan seksual terjadi pada 2018. Dari jumlah tersebut, terseliplah nama Agni dan Baiq Nuril di dalamnya.
Nama Agni menjadi viral ketika Majalah Balairung Universitas Gadjah Mada merilis sebuah artikel berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan pada November 2018. Agni (bukan nama sebenarnya) adalah seorang mahasiswa FISIPOL Universitas Gadjah Mada angkatan 2014. Ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan teman satu timnya ketika ia mengambil program KKN ke Maluku pada Juni 2017.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak berbeda nasib dengan Agni, Baiq Nuril Maknun adalah seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram yang namanya menuai banyak perbincangan ketika ia dinyatakan bersalah dan dihukum enam bulan penjara bersamaan dengan denda sejumlah Rp 500 juta, setelah korban dituduh menyebarkan rekaman ketika ia dilecehkan oleh Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Putusan kasasi itu dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dengan tuduhan bahwa Nuril telah mencemarkan nama baik dari sang Kepala Sekolah.
Padahal penyebaran tersebut dilakukan oleh rekan kerja Nuril yang simpati dengan kejadian tersebut, namun pada akhirnya tuduhan tetap dilayangkan, dan hukuman tetap diberikan. Barulah kita menyadari bahwa ternyata hukum di Indonesia sangatlah menghibur bagi para penikmatnya. Begitu cerdiknya, hukum yang seharusnya digunakan untuk melindungi justru menyerang balik para korban kekerasan seksual.
Tuntutan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) muncul dari berbagai kalangan, mulai dari gerakan yang dilakukan di media sosial melalui tagar #sahkanruupks hingga aksi nyata melalui Women's March yang turun ke jalan. Mereka menyuarakan hal yang sama yakni payung hukum yang lebih mutakhir dalam mengatasi kasus kekerasan seksual.
Indonesia bukannya belum memiliki undang-undang mengenai kekerasan seksual. Undang-undang yang mengatur hal tersebut sebenarnya ada dan terdapat pada UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diperbaharui melalui UU No.35 Tahun 2014 dengan tambahan mengenai kekerasan seksual dalam bentuk eksploitasi seksual. Walaupun ekploitasi seksual sebagai bentuk dari kekerasan seksual dijelaskan dalam UU Perlindungan Anak, hukum hanya dapat diberlakukan untuk memberi perlindungan terhadap korban yang termasuk dalam usia anak.
Jadi, mari menunggu sembari mengorbankan Agni yang lain, ataupun Nuril yang lain sampai pemerintah sadar bahwa produk hukum Indonesia terlalu lawas dan terlalu bungkam bagi para penyitas kekerasan seksual.
Shofiyyah Karimah Rahman mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
(mmu/mmu)











































