Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan alat sensor peringatan dini tsunami yang dimiliki pihaknya saat ini hanya bisa mendeteksi tsunami akibat gempa tektonik.
"Tetapi sekali lagi, peristiwa kemarin itu karena bukan gempa tektonik, sehingga informasi itu kami tidak ada akses. Data itu tidak ada di BMKG, ada di kantor lain sehingga itulah yang terjadi," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BMKG memperkirakan gelombang tinggi akibat cuaca maritim masih akan terus terjadi di Selat Sunda, ditambah gerakan Gunung Anak Krakatau yang masih aktif. Untuk itu, ke depan, untuk mendeteksi fenomena yang dipicu erupsi gunung, termasuk kemungkinan tsunami, pihaknya akan memasang tidegauge.
"Akan segera dilakukan, terkait dengan fenomena ini yang dipicu tidak langsung oleh erupsi gunung. Kami sudah berkoordinasi dengan Badan Geologi, perlu segera dipasangnya tidegauge di tiga pulau yang mengelilingi Anak Gunung Krakatau, Pulau Krakatoa, Krakatau Kecil, dan Sertung," ucap Dwikorita.
Tidegauge ini merupakan alat untuk pendeteksi perubahan muka air laut. Tidegauge, jelas Dwikorita, akan memberi sinyal apabila air laut naik akibat gerakan vulkanik.
"Jadi saat air itu baru naik di sumbernya itu sudah terbaca oleh tidegauge. Misalnya kemarin air mulai naik tremor vulkanik pukul 21.03 WIB, itu akan diketahui air mulai naik. Seandainya di situ sudah terpasang tidegauge itu datanya bisa dikirim ke Badan Informasi Geospasial (BIG) dan kita juga bisa memantau," katanya.
Dengan demikian, menurutnya, sebelum air merambat ke pantai, pihaknya dapat memberi informasi dan masyarakat pun dapat segera melakukan evakuasi. Sebab, menurutnya, air laut memerlukan waktu 20-24 menit untuk tiba di pantai terdekat.
"Seandainya itu ada tidegauge itu bisa diketahui karena datanya bisa dipantau. Itu masih ada waktu 20-24 menit yang diperlukan untuk air itu merambat sampai ke pantai terdekat. Sehingga cukup waktu untuk melakukan evakuasi. Itu yang akan kami lakukan supaya tidegauge dipasang di sana," tutur Dwikorita.
Dwikorita menyebut sistem informasi dari BIG belum semua masuk, terutama informasi terkait gunung api. Selanjutnya BMKG akan menyatukan sistem kegunungapian tersebut ke dalam sistem BMKG untuk mengetahui gerakan aktivitas vulkanik.
"Kami sudah ada komunikasi antar-sistem komputer itu, misalnya dengan BNPB, kemudian dengan PUPR, KLHK, itu sudah ada. Nah yang dengan Badan Geologi juga sudah ada, tetapi belum termasuk kegunungapian. Jadi sistem informasi antara BMKG dengan Badan Geologi yang sudah tergabung saat ini terkait dengan air bawah tanah. Yang untuk kegunungapian belum masuk. Sehingga kami akan segera mengintegrasikan," jelasnya.
Dengan adanya sistem kegunungapian, Dwikorita berharap tsunami, baik dari gempa tektonik maupun vulkanik, akan diketahui secara cepat.
"Yang belum ada itu kami BMKG memerlukan informasi dari data tersebut. Ini kami sudah berkoordinasi menyiapkan untuk akses data bersama. Kami sifatnya mem-backup. Karena tentang gunung api, baik tsunami akibat gunung api itu ada di sana, tapi kalau kami bisa mem-backup kan bisa saling mempercepat karena untuk bencana itu yang terpenting adalah kecepatan," ujarnya.
Simak juga video 'Tsunami Banten, Ini Penjelasan BMKG':
(eva/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini