Lebih dari 720 ribu pengungsi Rohingya telah pergi dari negara bagian Rakhine, Myanmar ke Bangladesh sejak Agustus 2017 lalu, ketika militer Myanmar melancarkan "operasi pembersihan" yang menewaskan ribuan orang. Operasi militer tersebut dilancarkan setelah serangan para militan ke pos-pos keamanan.
PBB dan Amerika Serikat menyebut operasi militer Myanmar tersebut genosida. PBB bahkan menyerukan para jenderal Myanmar diadili di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) atau pengadilan internasional atas dakwaan genosida.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita bisa meminta pemerintah Myanmar, namun jika tak ada respons dan kekejaman terus berlanjut, ASEAN harus mendukung langkah-langkah internasional untuk menghentikan penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan ini di Myanmar," kata Mahathir dalam wawancara dengan surat kabar The Nation seperti dilansir The Star, Senin (17/12/2018).
"ASEAN harus mempelajari bagaimana menekan pemerintah yang tidak memperlakukan rakyat mereka sendiri dengan adil dan baik," imbuhnya.
"Jika ASEAN hanya membiarkan orang-orang ini dibantai, sepertinya kita tidak bertindak secara bertanggung jawab," tegas Mahathir.
Mahathir mengatakan, dirinya dan para pemimpin negara-negara lain telah menyerukan Suu Kyi untuk membantu Rohingya, sama seperti ketika negara-negara lain berupaya melindungi dia ketika dia menjadi korban ketidakadilan di bawah rezim militer Myanmar tahun 1989-2010.
"Aung San Suu Kyi pernah berperang melawan militer, tetapi sekarang dia adalah anggota pemerintah dan tidak dapat memiliki pengaruh apa pun atas militer," ujar Mahathir.
"Dia seharusnya tidak mengasosiasikan dirinya dengan militer. Mereka tidak adil padanya dan sekarang mereka tidak adil kepada Rohingya," imbuhnya.
Saksikan juga video 'Amnesty International Cabut Penghargaan HAM Suu Kyi':
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini