Berselimut Lumpur, Kantil Lolos dari Pembantaian Belanda

Berselimut Lumpur, Kantil Lolos dari Pembantaian Belanda

Luthfiana Awaluddin - detikNews
Selasa, 11 Des 2018 21:03 WIB
Kantil (93), saksi tragedi Rawagede. (Foto: Luthfiana Awaluddin/detikcom)
Karawang - Peringatan 71 tahun tragedi Rawagede kembali mengingatkan Kantil (93) atas pembantaian warga desa oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947. Sorot matanya terlihat tajam kala mengenang peristiwa horor tersebut. Matanya terlihat terbelalak saat menceritakan pengalamannya diuber-uber tentara Belanda.

Kantil adalah satu dari sedikit pemuda Rawagede yang selamat dari pembantaian tentara Belanda. Saat itu, usianya 21 tahun.
"Banyak sekali teman saya yang tewas didereded (ditembaki) Belanda. Beruntung Allah masih melindungi saya," kata Kantil saat ditemui detikcom di rumahnya, Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Selasa (11/12/2018).

Saya enggak mikir ada ular atau biawak. Daripada mampus ditembak.Kantil

Beberapa saat sebelum Rawagede digeledah tentara Belanda, Kantil baru saja selesai salat subuh. Ia mendengar suara ribut-ribut. "Awas ada Belanda," ucap Kantil menirukan suara pria yang berlari-lari ke dalam kampung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Kantil sudah mendengar soal Rawagede bakal dikepung pasukan Belanda pada Senin 8 Desember 1947. "Yang membocorkan rencana pengepungan adalah seorang pegawai desa yang kasihan sama orang Rawagede," kata Kantil.

"Tapi saat itu hujan besar hingga malam, jadi kami pikir Belanda nggak mungkin menggeledah. Ternyata penggeledahan terjadi subuh - subuh," ujar dia menambahkan.

"Sekitar bada subuh terdengar suara tembakan di arah tanggul perbatasan Rawagede dan Pasir Awi saat itu saya sedang di rumah. Sangat kaget. Saya langsung ngumpet," ucap Kantil yang saat itu masih bujangan.


Begitu mendengar banyak tentara Belanda masuk ke desanya, Kantil cepat-cepat kabur. Ia memutar otak agar bisa sembunyi. Kantil lari terbirit-birit menerobos semak belukar dekat sungai. Saat menjumpai tumpukan semak di tepi sungai, ia membenamkan tubuhnya ke dalam kubangan lumpur hingga tersisa hidung dan mata. Tubuhnya berselimut lumpur.

Bagi Kantil, saat itu gigitan biawak atau patukan ular lebih ramah dari peluru. "Saya nggak mikir di situ ada ular atau biawak. Daripada mampus ditembak," tuturnya.

Di dalam lubang penuh lumpur itu, Kantil mendengar suara derap sepatu tentara Belanda. Ia makin panik ketika mendengar gonggongan anjing. "Di dalam lubang, saya gemetar. Rupanya Belanda bawa anjing, saya berdoa supaya nggak terlacak anjing. Mungkin karena badan penuh lumpur," katanya.

Entah berapa lama Kantil diam di dalam persembunyiannya, ia tak ingat jelas. Di sana ia menahan haus dan lapar. "Sepertinya seharian, saya keluar setelah situasi sepi dan suara tembakan berhenti," ujar Kantil.

Berselimut Lumpur, Kantil Lolos dari Pembantaian BelandaDalim (87), saksi tragedi Rawagede. (Foto: Luthfiana Awaluddin/detikcom)
Hal serupa dialami Dalim (87). Ia termasuk beruntung karena lolos dari maut saat tentara Belanda membantai para pria di Rawagede. Ketika Belanda menggeledah rumah-rumah penduduk, ia tengah siap-siap membawa kerbau membajak sawah.

"Dari jarak jauh ada Belanda berseragam hijau nembak ke arah saya," kata Dalim di Monumen Rawagede.

Dalim mengaku mendengar suara mortir dari jarak jauh. Ia bergegas melarikan diri dan ngumpet ke dalam empang dekat sungai. "Di empang itu kami bertujuh, selain saya ada Karta, Wira, Icih. Poho, pokona tujuhan (lupa, pokoknya tujuhan)," ujarnya.

Mereka, menurut Dalim, menyebar dan masuk ke dalam empang dan sembunyi ke dalam tumpukan eceng gondok yang lebat.

"Pokoknya saya diam enggak bergerak yang muncul cuma kepala sedikit, itu pun sengaja ditutupin eceng gondok," kata Dalim.

Ia mendadak lemas saat mendengar tentara Belanda menemukan kawannya yang sembunyi di semak-semak. "Bangun. Kumpul," kata Dalim menirukan suara tentara Belanda itu.

Begitu melihat tumpukan mayat, saya pulang ke rumah sambil berdoa mudah-mudahan ayah saya selamat.Dalim

Sama seperti Kantil, Dalim pun mendengar suara anjing tentara Belanda. Namun ia menenangkan diri saat seekor ular menjalar di daun eceng gondok dekat kepalanya.

"Ularnya hitam, saya makin takut tapi sedikit tenang. Mudah-mudahan Belanda tak menyangka ada orang di dalam air," ujar Dalim.

Dia mengaku keluar dari air setelah situasi sepi pada siang hari. Saat keluar air, ia melihat tumpukan mayat di dekat selokan. "Begitu melihat tumpukan mayat, saya pulang ke rumah sambil berdoa mudah-mudahan ayah saya selamat," tutur Dalim mengenang.

Tragedi Rawagede merupakan salah satu kejahatan perang Belanda saat agresi militer mereka yang kedua. Total korban disebut-sebut mencapai 489 jiwa. Semuanya laki - laki.

"Yang dieksekusi adalah pria umur 15 tahun ke atas. Mereka dikumpulkan di beberapa tempat lalu ditembaki," kata Ketua Yayasan Rawagede Sukarman di tempat yang sama (bbn/bbn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads