Beberapa hari lalu, masyarakat Indonesia khususnya pemerhati lingkungan digemparkan oleh kematian paus sperma (Physeter macrocephalus) dengan ukuran panjang Β± 9,5 meter dan lebar Β± 4 meter. Berdasarkan hasil evakuasi yang dilakukan oleh tim dari Balai Taman Nasional Wakatobi pada 19 November diperoleh sampah yang didominasi plastik di dalam perut paus dengan berat mencapai 5,9 kg. Sehingga sampai saat ini dugaan kuat kematian paus sperma itu diakibatkan oleh sampah plastik yang gagal dicerna dalam tubuh.
Kematian paus sperma ini hanya satu dari sekian banyak contoh kerusakan lingkungan yang memberikan dampak langsung terhadap satwa yang memiliki habitat di Indonesia. Kasus lainnya dengan permasalahan yang hampir sama terjadi pada Juli lalu, yaitu penyu yang tersedak plastik menyebabkan penyumbatan saluran pencernaan sehingga mengalami kematian. Fenomena ini memunculkan fakta bahwa lingkungan kita, khususnya di perairan telah terindikasi mengalami pencemaran pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Bukan Kebetulan
Fenomena satwa laut mengkonsumsi plastik bukanlah sebuah kebetulan semata. Selain dari bentuknya yang menyerupai makanan, secara ilmiah plastik menghasilkan lendir berupa lapisan tipis yang disebut plastisphere akibat aktivitas mikroba. Lapisan berlendir ini mengeluarkan senyawa kimiawi yang bau dan rasanya seperti makanan sehingga menarik bagi satwa untuk mengkonsumsi plastik.
Di sisi lain, keberadaan plastik dalam jumlah banyak adalah jebakan terbaik bagi paus yang menelan air dalam mendapatkan plankton. Paus sperma yang mati beberapa hari yang lalu adalah bukti bahwa komposisi plastik di laut telah jauh meningkat dan mengganggu kehidupan laut.
Plastik merupakan limbah utama permasalahan di perairan, termasuk laut, danau, dan sungai, serta menjadi permasalahan klasik khususnya bagi negara berkembang akibat penggunaannya dalam jumlah yang besar tanpa adanya pengelolaan limbah yang berkelanjutan. Plastik sendiri merupakan polimer yang sulit bahkan tidak dapat didegradasi secara alami oleh sistem alam. Dan, parahnya plastik dapat melepaskan senyawa kimia berbahaya seperti PCB, nonyphelol, bisphenol A, phthalates sekaligus mampu menyerap polutan seperti PCB, DDT, dan DDE.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menyatakan bahwa timbunan sampah plastik diperkirakan mencapai 24.500 ton per hari atau setara dengan 8,96 juta ton per tahun. Data ini menjadikan Indonesia mencatatkan "prestasi" sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China.
Tidak hanya di Indonesia, data dari Bank Dunia menyatakan bahwa peningkatan timbunan sampah dari kota-kota di dunia sudah pada level yang berbahaya dalam memberikan masalah lingkungan hidup yang sangat serius.
Usaha pengendalian pencemaran lingkungan akibat limbah plastik harus terus didengungkan. Kematian paus sperma adalah alarm berbahaya yang menyala sehingga perlu ditingkatkan kesadaran dan budaya dalam kehidupan sehari-hari manusia untuk meminimalisasi penggunaan plastik.
Selain itu tentunya diharapkan ada sebuah kebijakan dari pemerintah terkait kewajiban daur ulang dari level industri hingga rumah tangga yang terintegrasi dan terkontrol. Solusi berkelanjutan pun diharapkan dapat meminimalisasi sumbangan sampah plastik ke alam oleh manusia, dan melakukan restorasi terhadap ekosistem yang telah tercemar melalui integrasi dari revolusi budaya manusia, peraturan pemerintah, dan kontribusi industri dalam mengurangi plastik di lingkungan.
Wiko Arif Wibowo mahasiswa Program Doktor Fakultas Biologi UGM
(mmu/mmu)