Perda Keagamaan dan Nalar Kepemimpinan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Perda Keagamaan dan Nalar Kepemimpinan

Kamis, 29 Nov 2018 12:00 WIB
Fahrul Muzaqqi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ketua PSI Grace Natalie menolak "perda syariah"
Jakarta - Pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie perihal penolakan atas sejumlah peraturan daerah (perda) yang sarat dengan tarikan ajaran suatu agama tertentu (baca: Perda Syariah maupun Perda Injil) beberapa waktu lalu mengundang polemik bernada pro-kontra. Alasan utamanya adalah bahwa perda-perda itu berpotensi mendiskriminasikan warga negara yang berbeda agama dan memperuncing sentimen mayoritas-minoritas.

Perihal itu memang penting dan akan terus diperdebatkan. Namun, tidak kalah penting adalah posisi Grace sebagai Ketua Umum PSI menyiratkan nalar kepemimpinan tertentu dalam memandang persoalan identitas primordial, khususnya keagamaan di negeri ini. Kepemimpinan, di tengah derasnya arus informasi berikut proyeksi bonus demografi kaum muda, merupakan elemen krusial dalam upaya menjaga integrasi negara-bangsa.

Apalagi dalam konteks masyarakat yang masih belajar literasi digital, identitas dapat dengan mudah diinternalisasi secara sepihak melalui perangkat lunak informasi dengan tanpa terlalu mengindahkan pihak lain. Masyarakat dalam taraf tertentu cenderung hanya mencari "pembenaran" atas citra identitas di benaknya alih-alih kebenaran. Ruang publik kita, di sisi lain, mengidap kanker berupa hoax yang seakan tiada habisnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persoalan tidak hanya melulu perihal bagaimana masyarakat seharusnya bersikap di era disrupsi sekarang ini. Melainkan, justru tak kalah penting bagaimana para pemimpin di berbagai lini masyarakat mengelola berbagai identitas multikultur maupun pluralitas keyakinan beragama di Tanah Air. Para pemimpin organisasi kemasyarakatan, partai politik, institusi pendidikan maupun tokoh masyarakat menjadi simpul-simpul utama penentu keutuhan negara bangsa ini ke depan.

Nalar Kepemimpinan Lama

Persoalan identitas memang tidak semanifes seperti persoalan lain semisal ekonomi, politik, hukum, atau kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Namun demikian, persoalan itu tak kalah gawat apabila terjadi salah urus dari para pemimpin. Berapa banyak negara-bangsa di dunia yang porak poranda tergilas sejarah karena kegagalan para pemimpinnya menegosiasikan identitas warganya dan mempertahankan integrasi nasional.

Paradigma lama dalam pengelolaan identitas cenderung menempatkan identitas dominan sebagai identitas yang absah mewakili keseluruhan. Dalam konteks ini, identitas dominan dapat bersumber dari jumlah (tirani mayoritas) atau kekuatan (entah senjata, modal, maupun kekuatan intelektual). Di negara-negara otoritarian, paradigma yang dikenal dengan komunitarianisme ini kerap menemukan relevansinya.

Kepemimpinan, senada dengan paradigma ini, lebih banyak mengafirmasi identitas dominan tersebut demi stabilitas kekuasaan. Sementara, identitas-identitas kecil diposisikan menyesuaikan dengan kehendak identitas dominan tersebut. Secara kasat mata memang soliditas identitas seolah terpampang, namun riak-riak identitas-identitas kecil dapat menyembur keluar sewaktu-waktu.

Dalam polemik perda bermuatan ajaran suatu agama di atas, para pendukung perda-perda tersebut (Perda Syariah maupun Perda Injil), dalam amatan saya, condong mengikuti model paradigma komunitarian ini. Alhasil, walaupun kasat mata seakan tenang, konflik laten terpendam.

Berkebalikan dengan komunitarian, kepemimpinan konstitusional memandang negara (hukum) steril dari segala sentimen identitas religio-kultural. Identitas-identitas yang ada disubordinasi oleh aturan-aturan baku yang didasarkan pada rasionalitas deduktif dan pengakuan hak-hak material warga negara. Negara-negara sekuler yang memiliki tradisi liberalisme politik yang kuat, seperti Amerika Serikat dan Prancis, lebih dekat dengan paradigma ini.

Kepemimpinan, dengan demikian, dijalankan dengan tanpa campur tangan dari tafsir keagamaan maupun kultur tertentu. Grace, senada dengan cara pandang paradigma kepemimpinan ini, menawarkan penghapusan perda-perda bernuansa ajaran suatu agama tertentu tersebut. Tak pelak, tuduhan liberal, sekuler, bahkan anti-agama sempat terlontar dari para pengkritiknya.

Dalam taraf tertentu, seorang pemimpin akan berisiko gagap dan kelabakan apabila dihadapkan pada kenyataan munculnya perselisihan antarwarga yang bersumber pada ketegangan primordial. Lagi-lagi konflik laten dapat mencuat sewaktu-waktu dalam paradigma ini. Apalagi dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultur.

Nalar Komunikatif

Di era digitalisasi, identitas tidak lagi memadai dipahami sebagai entitas yang sudah final (being), melainkan akan terus bertransformasi (becoming). Mobilisasi manusia ditunjang dengan perkembangan teknologi yang kian cepat memungkinkan identitas berkelindan kompleks. Paradigma kepemimpinan, dengan demikian, sudah seharusnya beradaptasi dengan pergeseran-pergeseran zaman tersebut.

Kepemimpinan, dalam konteks ini, bukannya mensyaratkan pada tumpuan identitas dominan ataupun hukum formal, melainkan lebih pada kesediaan untuk mendengar dan bertukar ide-ide berikut data-data faktual. Tentu saja, kebohongan (hoax), manipulasi, penipuan, dan kesalahpahaman tidak dapat dibenarkan dalam paradigma kepemimpinan mana pun, terutama dalam kepemimpinan komunikatif ini. Kebohongan dan manipulasi hanya akan menghasilkan ketidakjelasan yang berujung pada kekacauan.

Sebaliknya, rasionalitas konsensual menjadi fondasi penting. Mengutip JΓΌrgen Habermas (Borradori, 2003), rasionalitas konsensual diartikan bukan semata preferensi personal atau kelompok, melainkan sebagai aksi komunikasi resiprokal dalam persona pertama jamak ("kita"). Seorang pemimpin, dengan demikian, berhak meyakini kebenaran primordial yang dianutnya maupun kelompoknya. Namun, bersamaan itu ia harus bertoleransi terhadap preferensi dan orientasi nilai kepada yang lain.

Begitu pun sebaliknya. Penghormatan atas kesetaraan toleransi ini tidak menyisakan ruang bagi suatu otoritas tertentu untuk secara sepihak menentukan batas-batas tentang apa yang dapat ditoleransikan dari sudut pandang preferensi dan orientasi nilai mereka sendiri. Dengan kata lain, tidak dibenarkan dalam mode kepemimpinan ini mengklaim secara eksklusif identitasnya lebih benar dan lebih baik sembari menyalahkan identitas lain.

Pertanyaannya, sejauh mana toleransi keberadaan identitas itu dimungkinkan dalam corak kepemimpinan komunikatif? Toleransi, tidak bisa dimungkiri, dimungkinkan sejauh terdapat penghormatan dan kesetiaan pada konstitusi. Konstitusi merupakan standar moral dasar penjelmaan dari konsensus komunikatif paling awal yang telah diterima sepenuhnya sebagai norma dan praktik oleh seluruh warga negara. Ia menjadi aturan main yang paling dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara sederhana, kepemimpinan komunikatif berupaya mensintesiskan mode kepemimpinan komunitarian dengan konstitusional dengan metode komunikasi yang setara, toleran, dan rasional. Pada taraf lebih jauh, kepemimpinan komunikatif juga menjadi alternatif mode kepemimpinan untuk memecahkan persoalan-persoalan pembangunan (sosial, politik maupun ekonomi) melalui praktik permusyawaratan mufakat secara setara dan rasional.

Alhasil, perda-perda berbasis suatu agama tertentu itu tentu saja tidak lepas dari peran kepemimpinan yang menginisiasinya. Alih-alih saling menghujat dan menuduh, akan lebih bijak kiranya apabila perda-perda itu didiskursuskan kembali di ruang publik dengan penuh nalar saling memahami berikut pertukaran data-data yang relevan dengan perkembangan masyarakat.

Fahrul Muzaqqi dosen di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, staf peneliti di Lakpesdam NU Jawa Timur

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads