Vonis Baiq Nuril dan Kenaifan MA
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Vonis Baiq Nuril dan Kenaifan MA

Rabu, 28 Nov 2018 13:00 WIB
Korneles Materay
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta -
Mahkamah Agung (MA) membuat kontroversi baru melalui putusan pemidanaan 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta kepada seorang perempuan korban pelecehan seksual atas nama Baiq Nuril Maknun alias Nuril (36). Vonis ini dinyatakan pada 26 September 2018 melalui putusan No. 574K/PID.SUS/2018. Jelas kontroversial, sebab putusan ini menabrak fakta hukum bahwa Nuril hanyalah korban akibat perbuatan pelaku bernama Muslim, mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram NTB.

Disinyalir perlakuan yang diterima Nuril telah berlangsung sejak medio 2012 silam. Nuril manusia biasa. Ibaratnya, perlakuan terhadap dirinya sama seperti tumpukan sampah, maka mantan guru honorer SMAN 7 Mataram ini tak mampu lagi menahan bau busuknya. Ia lantas merekam pelecehan verbal yang sering dilakukan pelaku melalui komunikasi lisan itu, mungkin sebagai pegangannya untuk selalu mengingat bahwa ada kebiadaban dari seorang pria apalagi berstatus guru dalam kesehariannya. Nuril tidak bertujuan untuk melaporkan atau membeberkan bau itu kepada publik.

Maka, bagi seorang Nuril sampah busuk itu tidak serta merta dibersihkan, barulah sebatas dikeluhkan kepada seorang rekan kerjanya. Konsekuensi belakangan ini, ia tidak mengira akan diproses polisi dan berujung di meja hijau. Dalam hal ini murni rekan kerja Nuril-lah yang membuka "rahasia" itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muslim tidak ingin dicemarkan nama baiknya apalagi dituduh melecehkan seorang perempuan dan rekanan gurunya. Ia membela diri. Segera laporan masuk ke kepolisian setempat dengan sangkaan Nuril telah melakukan pelanggaran hukum Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Secara implisit, tindakan Muslim menggunakan strategi playing victim atau victim blaming yang ironis diterima dalam praktik hukum dewasa ini.

Putusan PN

Pengadilan tempat untuk membuktikan kesalahan seseorang sehingga segera saja proses pembuktian dimulai. Persidangan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Nuril didudukkan di kursi pesakitan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwakannya dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE dengan ancaman hukum pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) miliar rupiah.

Secara umum JPU berkewajiban membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana sehingga patut dihukum sesuai surat dakwaan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Terdakwa atau penasihat hukumnya pun diberikan porsi membuktikan dengan tujuan tidak lain adalah kelak putusan hakim menyatakan terdakwa tidak bersalah sehingga harus bebas atau dilepaskan dari jerat hukuman atau seandainya pun bersalah dihukum ringan. Sementara itu, hakim sebagai pengadil dalam proses ini mencermati alat-alat bukti dan menilai pembuktian JPU dan terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai dasar membuat putusan.

Hakim dalam meramu putusan wajib berpedoman pada Pasal 183 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya." Alat bukti yang sah dijelaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa.

Akhirnya, majelis hakim PN Mataram sepakat berikut menjatuhkan putusan kepada terdakwa Nuril dengan amar tidak bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE sehingga diputus putusan bebas (vrijspraak) tertanggal 26 Juli 2017. Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas adalah putusan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Dengan kata lain, majelis hakim PN Mataram menilai JPU tidak bisa membuktikan perbuatan Nuril memenuhi unsur delik sebagai dasar dapat diberikannya nestapa berupa pidana.

Nuril Tidak Bebas

Bebas utopis bagi Nuril. Faktanya Nuril tidak bebas. Wanita tulang punggung keluarga ini hanya bebas di atas kertas. Setelah putusan PN Mataram, ia belum sempat lagi menghirup udara segar, mengasuh ketiga anaknya atau mencerdaskan anak bangsa di sekolah, ia kembali harus menerima kenyataan pahit putusannya mendapatkan perlawan dari JPU.

JPU mengajukan kasasi ke MA. Sebetulnya menurut Pasal 244 KUHAP, putusan bebas (vrijspraak) seperti yang dialami Nuril tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi di MA. Namun, praktik MA justru sering menerima permohonan kasasi dari putusan bebas yang diajukan JPU. Diketahui, pernah ada seorang pensiunan PNS Pemkab Pasaman Sumatera Barat mengajukan judicial review ke MK untuk mendapatkan kepastian hukum terkait pasal tersebut.

MK melalui putusan nomor 114/PUU-X/2012 menyatakan Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap pada 2013 silam. Artinya, terhadap putusan bebas dapat dilakukan kasasi ke MA.

Pada 26 September 2018, MA mengeluarkan putusan No. 574K/PID.SUS/2018 yang menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari JPU dan membatalkan putusan PN Mataram. Hal ini sama saja dengan menyatakan Nuril bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Beberapa waktu lalu, sempat beredar perintah eksekusi dari Kepala Kejaksaan setempat 21 November 2018, namun kemudian ditunda karena adanya faktor tekanan publik.

MA Naif?


Apakah MA naif dalam perkara ini? Ada 3 (tiga) hal yang penting sehubungan dengan itu. Pertama, kasasi putusan bebas. Pasal 244 KUHAP menyatakan vrijspraak tidak dapat dikasasi. Tetapi praktik terlarang ini dilanggengkan terus-menerus oleh MA. MA sejak awal memang tidak konsekuen terhadap aturan yang ada. Alih-alih mengusulkan ke pemerintah atau DPR untuk merevisi aturan yang dirasakan tidak memberikan kepastian seperti ini, MA ternyata sama saja diam seribu bahasa dan tetap mempedomani itu hingga terus-menerus praktik yang sama diterapkan. Barulah dengan adanya Putusan MK No. 114/PUU-X/2012 sebagai dasar mengajukan kasasi terhadap putusan bebas.

Pertanyaan kritis di sini ialah bagaimana hakim MA dapat menangkap argumentasi JPU terkait unsur delik Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang pernah gagal dipertahankan di pengadilan tingkat pertama? Bagaimana MA menilai Nuril adalah pelaku tindak pidana sebagaimana yang didakwakan? Padahal ia bukanlah pelaku yang langsung mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi bermuatan kesusilaan ini.

Muatan materi kesusilaan itu sendiri pelakunya adalah Muslim. Mengapa yang yang dipersalahkan Nuril? MA seharusnya memposisikan diri sebagai yudex yuris yakni hakim yang memeriksa pada tingkat kasasi hanya berfokus pada penerapan hukumnya saja. Seyogianya dalam perkara ini MA menilai apakah penerapan pasal yang dipergunakan telah sesuai atau tidak. Soal vonis? Sudah selesai.

Kedua, proses perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Hal yang membikin publik resah adalah sikap MA yang seakan-akan pura-pura menutup mata bahwa ada Perma No. 3 Tahun 2017. Bab III tentang Pemeriksaan Perkara dalam Pasal 4 huruf (d) dan huruf (g) menyatakan, "Dalam memeriksa perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: huruf (d) "dampak psikis yang dialami korban," huruf (g) "riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi."

Berbicara ketentuan ini telah dilakukan PN Mataram, tetapi dengan vonis kasasi ini MA bukan hanya mengorek luka psikis korban, tidak mempedulikan riwayat kekerasan tetapi juga menjadi yudex facti. Singkatnya, yudex facti adalah hakim berperan menjadi penentu fakta mana yang benar.

Lebih jauh dalam Pasal 6 huruf (a) dan huruf (c) dikatakan bahwa hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum: huruf (a) "mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis; huruf (c) "menggali nilai-nilai huruf, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi.

Apakah hakim MA sudah melihat ke sana? Kita menghormati MA sebagai pengadil tertinggi tetapi rasanya tidak adil.

Ketiga, korban dipidana. Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Atas dasar apakah menghukum korban? Mengapa menghukum Nuril? Ke depan "Nuril-Nuril" lainnya akan takut melaporkan pelecehan terhadap mereka karena takut. Kelak "Nuril" lainnya ketika dilecehkan, terluka, sakit, dibunuh, dirusak martabatnya tidak berani berbicara, ragu mengadu ke polisi, takut mencurahkan isi hatinya di ruang pengadilan.

Mudah-mudahan masih ada keberanian seperti Nuril, bersuara lantang kepada publik, sehingga tak sendirian lagi.

Korneles Materay, S.H alumnus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pemerhati hukum, bekerja sebagai Corporate Legal Officer

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads