Kaum Milenial dan Masa Depan Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

"Common Sense" Ishadi SK

Kaum Milenial dan Masa Depan Indonesia

Selasa, 27 Nov 2018 11:10 WIB
Ishadi SK
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ishadi SK (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Kaum milenial 20 tahun lalu tidak terlalu digubris keberadaannya. Namun sekarang teramat diperhitungkan karena menjadi sangat "powerful" dari sisi ekonomi dan bisnis maupun politik. Di Pilpres 2019 nanti kaum milenial amat diperhitungkan. Tidak saja karena jumlah mereka banyak, 80 juta atau 1/3 jumlah penduduk Indonesia, namun kaum milenial yang berusia 22 tahun - 37 tahun adalah mereka yang mempunyai hak pilih aktif Pilpres 2019. Padahal total menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih total 146.450.861. Kaum milenial akan menyumbang lebih dari 50% suara pemilih Pileg maupun Pilpres.

Kekuatan mereka sekarang di era digital lebih menonjol karena mereka umumnya melek digital. Mempunyai akun dan rajin berselancar di dunia maya. Mereka bisa membangun komunitas eksklusif seraya mengantongi gadget. Beberapa di antaranya menjadi kaya raya luar biasa dan dalam waktu yang amat sangat singkat, lewat usaha-usaha start up.

Sebut saja Ferry Unardi, pendiri Traveloka berusia 30 tahun, kekayaannya Rp 2,09 triliun. William Tanuwijaya pendiri Tokopedia, usia 36 tahun, kekayaan Rp 1,95 triliun. Achmad Zaky pendiri Bukalapak kekayaannya Rp 1,5 triliun. Nadiem Makariem, pendiri Gojek kekayaan Rp 1,45 triliun. Kekayaan itu terjadi dalam waktu singkat antara 2-4 tahun saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang muda dunia yang kaya raya mendadak adalah berkat para penemu yang menghasilkan sebuah dunia baru media sosial. Mereka adalah para penemu besar sekelas Thomas Alva Edison (penemu lampu pijar), James Watt (penemu mesin uap), atau Alexander Graham Bell (penemu telepon).

Lima penemu yang kemudian mengubah dunia lewat komunikasi sosial media pada abad ke-20 adalah Larry Page dan Sergey Brin,menemukan sistem pencari Google (1998) pada usia 24 tahun. Mark Zuckerberg pada usia 19 tahun menemukan Facebook (2004). Penemu Whatsapp, Jan Koum dan Brian Acton, sementara Steve Chen dan Chad Hurley menemukan YouTube (2005), pada usia 27 tahun. Pierre Omidyar (28 tahun), penemu eBay (1995), sedangkan Kevin Systron dan Mike Kruger menemukan Instagram (2010).

Maraknya media sosial di Indonesia didasari tiga hal. Pertama, dibukanya kebebasan menyampaikan pendapat secara absolut. Kedua, ketersediaan yang tak terbatas untuk berselancar di dunia media sosial dengan adanya fasilitas telekomunikasi lewat satelit maupun land transmission. Pada 1969 Indonesia meluncurkan satelit domestik Palapa, menjadi negara ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan Kanada. Ketiga, kenyataan generasi milenium, disebut juga netizen atau warganet, merupakan kelompok generasi milenial paling aktif di dunia maya.

Ahli Fisika Indonesia Prof. Dr. Yohanes Surya giat mendorong siswa Indonesia untuk membuktikan kemampuan teknologi fisika di ajang Olimpiade Fisika dunia. Hasilnya, rata-rata dalam hampir setiap Olimpiade Fisika, Indonesia merebut tempat pertama.

Pada 2005 Anike Nelce Bowaire, siswa jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung memperoleh penghargaan First To Nobel Prize in Physics dalam kejuaraan Fisika Dunia di Amerika Serikat. Ia kemudian bekerja di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat. Secara teoritis ia mempunyai kans untuk memperoleh Nobel pada 2040.

Prof. Nelson Tansu, PhD, hasil didikan Prof.Dr.Yohanes Surya, memperoleh gelar Profesor Fisika pada usia 25 tahun dari Pensylvania University, hanya 10 tahun setelah lulus SMA di Dr Soetomo Medan, dan perguruan Tinggi di Amerika Serikat.

April 2004, pada kejuaraan Fisika antar 7 universitas paling prestisius di dunia, di antaranya Harvard University, MIT, Princeton University, yang menang adalah MIT. Tim MIT, dari 7 orang mahasiswa yang bertanding 3 di antaranya mahasiswa Indonesia yang sekolah di MIT waktu itu.

Pada Agustus 2005, Yohanes Surya melakukan penelitian acak di antara 27 SMA negeri dan 17 SMA swasta di Jakarta dan sekitarnya. Hasilnya, dari 1.500 siswa yang diteliti, 300 siswa mempunyai IQ 140, dari jumlah itu 44 siswa memiliki IQ 150, melewati tingkat jenius.

Pada Desember 2005, Prof. Yohanes lewat penelitian lainnya terhadap 400 siswa SMA Negeri kelas I, Kabupaten Toba, Samosir menemukan 6 siswa dengan IQ 150 alias superjenius.

Nah, jangan khawatir akan masa depan Indonesia, mengingat struktur sumber daya manusia di masa depan yang demikian mampu secara bakat.

Center of Strategic and International Studies Jakarta (CSIS) ketika melakukan penelitian tentang orientasi sosial, ekonomi dan praktik para milenial mendapatkan catatan sebagai berikut: Tingkat optimisme terhadap kemampuan pemerintah terkait kesejahteraan rakyat hasilnya 71,8% optimis, 21,9% tidak optimis. Tingkat kebahagiaan dalam mengatasi hidup 81,3% bahagia, 9,4% tidak bahagia. Tingkat optimisme terhadap masa depan 94,8% dan 2,5% pesimis. Rata-rata generasi milenial mengkonsumsi internet 7 jam sehari.

Milenial Indonesia jumlahnya sangat besar, memiliki perilaku baik dan amat sangat kreatif. Penelitian Yohanes Surya menunjukkan banyak orang-orang muda Indonesia mempunyai potensi memiliki kecerdasan tingkat jenius. Pada 2030 Indonesia akan menikmati "bonus demografi", artinya tenaga kerja produktif jauh lebih tinggi dibanding perkerjaan non produktif.

Melihat cakrawala tenaga kerja milenial yang besar jumlahnya serta potensial kapasitasnya, Indonesia semestinya akan menjadi negara keempat dalam kekuatan ekonomi seperti diramalkan Price Water Cooper, sebuah lembaga analis ekonomi dan bisnis dunia yang terpecaya. Mengapa tidak ?

Ishadi S.K Komisaris Transmedia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads