"Berdasarkan penelusurannya hanya sebanyak 16 RUU yang dibahas di antaranya 3 RUU kumulatif terbuka dan 13 RUU lainnya Prolegnas Prioritas," kata Peneliti Formappi, M Djadijono dalam sebuah diskusi di kantor Formappi, Jalan Matraman, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018).
Baca juga: Formappi: DPR Jadi Lembaga yang Birokratis |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu ternyata tidak ada satu Prolegnas pun yang dibahas dan disahkan selama masa sidang pertama tahun 2018-2019. Yang disahkah hanya 3 RUU. Satu menyangkut APBN 2019, RUU lain yang kumulatif terbuka adalah kerja sama Indonesia-Belanda di pertahanan dan Arab Saudi di pertahanan," papar Djadijono.
Djadijono menuturkan, masih terdapat 15 RUU lagi yang waktu pembahasannya dilimpahkan ke rapat paripurna berikutnya. Padahal, menurutnya, 15 RUU ini dibahas lebih dari lima kali masa sidang.
"15 RUU dilimpahkan lagi ke masa sidang berikutnya. Padahal dikatakan bahwa durasi waktu pembahasan RUU itu sudah 5 kali masa sidang, tetapi setiap kali penutupan masa sidang selalu saja banyak RUU yang mangkrak. Artinya, DPR dalam menjalankan fungsi legislasi sangat minim hasil dan prestasinya," tegasnya.
Menurut Formappi, DPR hanya pandai membuat rencana pembahasan RUU. Namun, sambung Djadijono,DPR tidak mengetahui prioritas RUU yang harus diprioritaskan.
"Dalam fungsi legislasi, DPR pandai membuat rencana berapa RUU yang akan dibahas dan disahkan. Tetapi di samping itu juga pandai meminta-minta," ujar Djadijono.
"DPR pandai jadi peminta-minta untuk memperpanjang proses pembahasan RUU yang belum selesai. Apakah dengan ini dapat kita tafsirkan DPR memang tidak mengerti arti prioritas? Atau memang DPR karena malas?" sambungnya. (zak/zak)