Jaksa menyebut apabila PT DGI tidak membayar denda dan uang pengganti dalam waktu satu bulan, maka harta benda disita jaksa untuk dilelang.
"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini, menyatakan terdakwa (PT DGI) terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa KPK Lie Putra Setiawan saat membacakan surat tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (22/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Duduk sebagai terdakwa sebagai perwakilan PT DGI yaitu Direktur Utama PT NKE Djoko Eko Suprastowo. Jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa mencabut hak untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama 2 tahun.
Jaksa menyebut PT DGI mendapatkan keuntungan dari seluruh proyek yang diperoleh mantan anggota DPR M Nazaruddin dengan jumlah Rp 240 miliar. Mantan Direktur Utama PT DGI Dudung Purwadi awalnya meminta Nazaruddin agar PT DGI mendapatkan proyek pembangunan tahun anggaran 2009 dan bersedia memberikan commitment fee.
Berikut rincian proyek yang dikerjakan dan menguntungkan PT DGI:
1. Proyek Gedung Wisma Atlet Jakabaring di Palembang, Sumatera Selatan, dengan jumlah keuntungan Rp 42.717.417.289;
2. Proyek Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya, Jawa Timur, dengan jumlah keuntungan Rp 44.536.582.667;
3. Proyek Gedung Rumah Sakit Pendidikan Universitas Mataram di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah keuntungan Rp 23.902.726.864;
4. Proyek Gedung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungai Dareh di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dengan jumlah keuntungan Rp 20.503.587.805;
5. Proyek Gedung Cardiac di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Sumatera Utara, dengan jumlah keuntungan Rp 4.015.460.587;
6. Proyek Paviliun di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Sumatera Utara, dengan jumlah keuntungan Rp 2.164.903.874;
7. Proyek Rumah Sakit Tropis Universitas Airlangga, di Surabaya, Jawa Timur tahun anggaran 2009 dan 2010, dengan jumlah keuntungan Rp 77.478.850.619;
8. Pembangunan RSP Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Udayana sejumlah Rp 24.778.603.605.
Atas keuntungan itu, PT DGI atas nama Dudung Purwadi telah menyetor uang ke kas negara Rp 51 miliar. Uang yang disetor tersebut terkait proyek Wisma Atlet dan RS Udayana.
"Oleh karenanya uang pengganti yang masih harus dibebankan kepada terdakwa adalah Rp 188 miliar dengan perhitungan keuntungan yang diperoleh terdakwa sejumlah Rp 240 miliar dikurangi uang fee dan uang yang telah disetor ke kas negara Rp 51 miliar," ujar jaksa.
Jaksa juga menyebut PT DGI memberikan fee kepada Nazaruddin yang sudah membantu mendapatkan proyek tersebut. Uang yang diserahkan kepada Nazaruddin Rp 66 miliar.
Berikut rincian yang diterima Nazaruddin:
1. Sejumlah Rp 4.675.700.000 dari proyek Gedung Wisma Atlet Jakabaring;
2. Sejumlah Rp 4.178.350.000 dari proyek Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP);
3. Sejumlah Rp 7.245.801.000 dari proyek Gedung Rumah Sakit Pendidikan Universitas Mataram;
4. Sejumlah Rp 6.579.880.000 dari proyek Gedung RSUD Sungai Dareh di Kabupaten Dharmasraya;
5. Sejumlah Rp 1.848.679.000 dari proyek Gedung Cardiac di Rumah Sakit Adam Malik Medan;
6. Sejumlah Rp 928.113.000 dari proyek Paviliun di Rumah Sakit Adam Malik Medan;
7. Sejumlah Rp 30.598.722.500 dari proyek Rumah Sakit Tropis Universitas Airlangga, di Surabaya, Jawa Timur.
Selain itu, PT DGI juga telah memberikan fee kepada Rizal Abdullah, anggota KPWA dan Panitia Pengadaan sejumlah Rp 1,1 miliar. Sehingga total fee yang diserahkan Nazaruddin dkk Rp 67 miliar.
"Penuntut umum akan pertimbangkan setelah terdakwa mengajukan pembelaan (pleidoi)," ujar jaksa.
Atas perbuatan tersebut, jaksa menyebut negara mengalami kerugian negara Rp 25 miliar. PT DGI disebut jaksa menitipkan uang ke kas negara dalam status penyitaan Rp 35 miliar dan Rp 20 miliar. Uang tersebut akan dirampas untuk kepentingan negara dan diperhitungkan sebagai uang pengganti.
"Uang yang telah disetor terdakwa atas temuan BPK dan BPKP sebelum dilakukannya penghitungan kerugian negara sejumlah Rp 17 miliar. Penuntut umum juga tidak perhitungkan sebagai pengurang besaran kerugian negara karena membayar terlambat," ujar jaksa.
Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum PT DGI Soesilo Ariwibowo mengaku akan mengkaji dengan manajemen PT NKE untuk membahas uang pengganti. Apalagi uang yang dititipkan PT DGI juga belum masuk sebagai uang pengganti.
"Tetapi uang pemgganti nanti melalui pembelaan akan klarifikasi karena ada beberapa belum masuk diperhitungkan. Contohnya uang titipan ke BPK dan lainnya, Rp 35 miliar belum jadi pengurang, nanti pembelaan akan sampaikan," ucap Soesilo.
Dia juga menyatakan sedang menelaah asal usul angka uang pengganti tersebut. Menurut dia, pembayaran uang pengganti cukup berat bagi perusahaan apabila uang titipan tidak masuk sebagai mengurangi uang pengganti.
"Kalau dikurangi pembayaran tadi, saya lihat belum dimasukkan cukup berat juga bagi NKE. Kita akan diskusi manajemen dan kaji dulu, mudah-mudahan diterima pembuktian saya, tentu harapannya KPK tidak ada banding nantinya," tutur dia.
Baca juga: Dukungan ke KPK Usut Kasus PT DGI |
KPK Pertama Kali Tuntut Korporasi: Ini Hari Bersejarah
Jaksa KPK baru membacakan surat tuntutan terhadap korporasi, PT Duta Graha Indah (DGI) yang saat ini bernama PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE). Pembacaan tuntutan itu dianggap KPK sebagai hari bersejarah.
"Hari ini adalah hari pertama kita akan membacakan tuntutan terhadap PT NKE, ini hari bersejarah karena barusan KPK membacakan tuntutannya dan mudah-mudahan Pengadilan Jakarta Pusat berpihak pada kebenaran dan berharap sesuai harapan KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam diskusi bertema menjerat korporasi di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (22/11/2018).
Syarif menyebut hingga saat ini sudah ada sekitar 4-5 perusahaan yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Menurut Syarif, perusahaan kerap menjadi alat untuk menyembunyikan kejahatan korupsi.
"Kenapa perusahaan itu penting, karena sebagian perusahaan yang tidak baik itu bertindak sebagai organizer crime, dia menyembunyikan kejahatan lewat perusahaan, sampai kadang didaftarkan di negara yang sulit dijangkau," ujarnya.
Selain itu, menurut Syarif, ada 3 pertimbangan dalam menerapkan jeratan pidana korporasi. Apa saja?
"Apakah itu pertama kali dia melakukan atau tidak. Kalau sudah berulang namun perusahaan membiaskan. Kedua seberapa kebiasaan menyuap atau berbuat curang, apakah satu insiden saja atau operasinya sudah begitu, yang ketiga segi dampaknya. Ini dampaknya hanya untuk perusahaan saja atau betul-betul besar," ucap Syarif.
(dhn/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini