Data itu ditunjukkan dalam tampilan presentasi saat rapat bersama Komisi V DPR dengan KNKT. Kepala Subkomite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo memberi penjelasan terkait tampilan data tersebut.
Baca juga: Menhub: FDR Lion Air PK-LQP Berhasil Diunduh |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi pada saat pesawat mulai bergerak, mulai terjadi perbedaan penunjukan kecepatan antara kapten dan kopilot," imbuh Nur.
Nur mengatakan angle of attack indicator antara kopilot (warna hijau) dan milik kapten (warna merah) sudah berbeda sejak awal penerbangan. "Angle of attack indicator sejak mulai pesawat bergerak sudah terlihat ada perbedaan antara kiri dan kanan, di mana indikator yang kanan lebih tinggi daripada yang kiri," kata Nur.
Pesawat mulai bergerak, kecepatan mulai naik berpisah. Indikator kecepatan kopilot dan kapten berbeda. Lalu pesawat mengalami stall.
"Kemudian pesawat mulai terbang. Pada saat menjelang terbang, di sini tercatat bahwa ada garis merah di sini yang menunjukkan pesawat mengalami stall atau stick shaker. Jadi itu adalah kemudinya di sisi kapten mulai bergetar. Ini adalah indikasi yang menunjukkan pesawat bahwa akan mengalami stall atau kehilangan daya angkat," sebut Nurcahyo.
Pesawat terus melaju dengan ketinggian naik-turun hingga berada di posisi ketinggian 5.000 kaki. Indikator angle of attack kopilot-kapten berbeda, di mana milik kapten menunjukkan posisi yang lebih tinggi hingga memicu kondisi stall.
"Pada saat di ketinggian 5.000 kaki, di sini tercatat yang berwarna ungu ini adalah automatic trim down atau yang disebut banyak media sebagai MCAS atau maneuvering characteristics augmentation system. Ini adalah alat untuk menurunkan hidung pesawat karena pesawatnya akan stall," sebutnya.
"Jadi hal ini kemungkinan disebabkan angle of attack di tempatnya kapten yang berwarna merah ini menunjukkan derajat lebih tinggi dan kemudian memacu terjadinya stick shaker mengindikasikan ke pilot bahwa pesawat akan stall, kemudian automatic system atau MCAS menggerakkan pesawat untuk turun. Pergerakan ini dilawan oleh pilotnya dengan parameter yang paling atas warna biru. Jadi setelah trim down, dilawan pilotnya trim up terus sampai dengan akhir penerbangan," beber Nur.
"Parameter yang tengah biru tengah ini menunjukkan berapa total trim yang terjadi. Setelah trim down, angkanya turun, dilawan oleh pilotnya trim up lalu kemudian kira-kira angkanya di angka 5, sepertinya ini angka di mana beban kendala pilot nyaman di angka 5. Apabila angkanya makin kecil, beban semakin berat. Namun, tercatat di akhir-akhir penerbangan, automatic trim bertambah, namun trim dari pilotnya durasinya makin pendek. Akhirnya jumlah trim-nya makin lama mengecil dan beban di kemudi jadi berat kemudian pesawat turun," imbuh Nur.
Selama penerbangan, Lion Air PK-LQP disebut Nur tak mengalami masalah pada mesin.
"Dari data mesin yang kita peroleh, antara mesin kiri, dalam hal ini parameter berwarna biru, dan mesin kanan berwarna merah, hampir semua penunjuk mesin menunjukkan angka yang konsisten. Jadi kami bisa simpulkan mesin tidak menjadi kendala dalam penerbangan ini," ucapnya.
Sebenarnya, kata Nur, pesawat Lion Air PK-LQP juga mengalami kendala di penerbangan sebelumnya, yaitu Denpasar-Jakarta. Namun pilot bisa mengendalikan pesawat itu.
"Bahwa dalam penerbangan Denpasar menuju Jakarta, pesawat ini mengalami kendala yang sama seperti penerbangan dari Jakarta yang mengalami kecelakaan," pungkas Nur. (gbr/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini