Setidaknya, ada istilah-istilah tertentu yang disampaikan mereka, seperti 'politikus sontoloyo' dan 'politik genderuwo' dari Jokowi, istilah 'budek dan 'buta' dari Ma'ruf, 'tampang Boyolali' dari Prabowo, dan 'tempe setipis kartu ATM'-nya Sandi. Menurut dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, semestinya diksi-diksi tersebut dihindari.
"Dua kandidat ini tidak mampu menahan diri untuk tidak mengeluarkan statement yang menurut saya remeh-temeh. Kok justru kedua kandidat ini memosisikan dirinya sebagai timses. Jadi cebong, kampret, sontoloyo, tampang Boyolali itu harusnya domain timses," ujar Adi saat dihubungi, Senin (12/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mestinya Pak Jokowi dan Pak Prabowo harus membawa buku visi-misi yang sudah didaftarkan ke KPU. Dicetak saja sebanyak mungkin. Kalau datang ke komunitas pasar, itu saja dikasihnya biar orang bisa mengukur apa janji politiknya. Kalau Pak Prabowo yang visi-misinya disebut 4 pilar kesejahteraan rakyat. Artinya, setiap blusukan kepada masyarakat, biar ada simbiosis mutualisme, orang bertanya apa yang akan dilakukan mereka," kata Adi.
Baca juga: Isu Tempe Jokowi Vs Sandiaga |
Sementara itu, diksi-diksi yang disampaikan Jokowi-Amin ataupun Prabowo-Sandi, menurut Adi, semestinya disampaikan tim sukses saja. Kedua kandidat dinilai masih menggunakan istilah yang spontan belaka.
Baca juga: Prabowo Minta Maaf, Prabowo Tetap Dilaporkan |
"Kalau saya melihat pola kampanye dua kandidat ini pakai jurus mabuk, pakai jurus suka-suka. Jadi lebih cenderung menyajikan suatu hal yang artifisial dan spontanitas, tapi tidak terencana. Dan kalau mau dicek, masyarakat yang ngerti visi-misi Pak Jokowi dan Pak Prabowo cukup rendah, persentasenya di angka 18 sampai 20 persen," paparnya.
Saksikan juga video 'Blak-blakan Ma'ruf Amin, Aksi 212 dan Gerilya untuk Jokowi':
(dkp/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini