Gugatan itu dilayangkan lantaran status OSO sebagai bakal calon anggota DPD digugurkan oleh KPU dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPD. Pengguguran pencalonan tersebut dikarenakan kapasitas OSO masih sebagai Ketua Umum Partai Hanura, sedangkan pada masa pencalonan ia tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari parpol sesuai PKPU No. 26/2018 (sebelum dibatalkan).
PKPU No. 26/2018 sejatinya merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 30/PUU-XVI/2018, yang substansinya memperluas makna frasa "pekerjaan lain" dalam Pasal 182 huruf l UU No. 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) mencakup pula pengurus (fungsionaris) parpol. Sehingga, terhadap bakal calon anggota DPD yang sedang menjabat sebagai pengurus parpol, ia berkewajiban mengundurkan diri dari jabatan dalam parpolnya.
Namun, pasca-putusan MA, keadaan hukum justru makin semu. Sebab, Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang telah mempertegas makna Pasal 182 huruf l UU Pemilu seolah diabaikan oleh MA. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum terhadap status bakal calon anggota DPD yang tengah menjadi pengurus parpol. Ketidakpastian hukum dimaksud adalah, apakah yang bersangkutan dapat ditetapkan sebagai calon atas dasar putusan MA, atau pencalonannya tetap gugur atas dasar putusan MK dan PKPU No. 26/2018.
Problem Judicial Review
Jika ditinjau dari sisi kelembagaan, MA dan MK merupakan lembaga negara dalam cabang kekuasaan kehakiman yang berkedudukan sejajar/setara (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945). Artinya, tidak ada hubungan sub-ordinasi antarkedua lembaga negara tersebut, sehingga tidak ada sifat instruktif dari MK ke MA ataupun sebaliknya. Namun, dari produk lembaganya, MA dan MK sama-sama memiliki produk berupa putusan atas perkara yang diselesaikan. Persoalannya, antara putusan MA dan MK belum jelas kedudukan dan hierarkinya.
Apakah putusan MK berkedudukan setara UU atau bahkan UUD? Dan, apakah putusan MA berkedudukan setingkat dengan peraturan yang sedang diuji atau setingkat UU? Sedangkan, kekuatan hukum putusannya sama-sama final dan mengikat. Tampaknya, saat ini belum ada teori dan ketentuan yang menjelaskan hierarki putusan pengadilan dalam konteks antara putusan MK dan MA.
Kendati demikian, munculnya 2 (dua) putusan uji materi (judicial review) antara MA dan MK yang bertolak belakang ini salah satunya dipicu oleh pembagian jalur pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Situasi di mana MK berwenang menguji UU terhadap UUD, dan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Mekanisme semacam ini sebenarnya menuai kritik sebagian ahli hukum tata negara. Hal itu dikarenakan rawan timbul putusan yang saling menegasikan, sehingga dapat menimbulkan ketidaktegasan (ketidakpastian) dan integralnya visi serta konsepsi hukum yang akan dibangun dalam kerangka pembaharuan hukum di Indonesia (Ni'matul Huda:2014).
Di beberapa negara lain, misalnya Amerika Serikat (AS) dan Austria, sistem pengujian peraturan perundang-undangannya tidak dibagi menjadi 2 (dua) jalur layaknya di Indonesia. Praktik di AS dan Austria, pengujian peraturan perundang-undangan hanya menjadi kewenangan 1 (satu) lembaga negara saja, yaitu Supreme of Court. Sehingga dapat terbangun keterpaduan dalam sistem peraturan perundang-undangannya. Keinginan untuk menyatuatapkan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya telah muncul sejak penyusunan UUD 1945 dan perubahannya (M. Yamin:1971). Sayangnya, politik hukum yang disepakati dan berlaku adalah membagi mekanisme uji materi peraturan perundang-undangan di MA dan MK.
Solusi
Berkaitan dengan ketidakpastian hukum yang timbul pasca-putusan MA ini, saya mengemukakan 2 (dua) pandangan sekaligus usulan. Pertama, demi kepastian hukum, sebaiknya KPU melaksanakan putusan MA, apabila pertimbangan hukum hakim MA seirama dengan argumentasi kuasa hukum pemohon (Yusril Ihza Mahendra) yang mengemuka di media. Sebab, menurut kuasa hukumnya, persoalan hukum yang menjadi salah satu objek gugatan uji materi PKPU No. 26/2018 ini adalah berlaku surutnya Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 dan PKPU No. 26/2018 terhadap keadaan hukum pada masa pendaftaran bakal calon anggota DPD.
Diakui bahwa putusan MK dan PKPU tersebut memang ditetapkan pasca-penutupan pendaftaran bakal calon anggota DPD. Logikanya, ketentuan yang berlaku pada masa pendaftaran bakal calon adalah Pasal 182 huruf l UU Pemilu yang belum diperluas maknanya oleh MK. Sehingga, putusan MA menjadi tepat jika norma yang dijadikan batu uji adalah Pasal 182 huruf l UU Pemilu yang berlaku sebelum putusan MK. Sebab, sebelum MK memperluas maknanya, UU Pemilu masih memungkinkan pencalonan anggota DPD dari pengurus parpol.
Dengan pemahaman demikian, putusan MA dan putusan MK tetap sama-sama dapat dilaksanakan. Asalkan, putusan MA tidak memuat pengabaian atau bantahan terhadap putusan MK, tetapi sebatas menyatakan PKPU No. 26/2018 yang muncul belakangan bertentangan dengan UU Pemilu yang berlaku sebelum munculnya putusan MK. Sedangkan putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 baru dapat dilaksanakan untuk pencalonan anggota DPD pada Pemilu 2024.
Kedua, demi kepastian hukum dan perbaikan sistem peraturan perundang-undangan, ke depan perlu segera ditata ulang mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap lembaga peradilan. Permasalahan yang timbul pasca-putusan MA ini menambah pentingnya gagasan tersebut direalisasikan. Sehingga, tidak kembali muncul persoalan yang sama di masa mendatang. Hal ini dikarenakan, setiap uji konstitusionalitas materi peraturan perundang-undangan hanya akan diputus oleh satu lembaga peradilan saja. Adapun lembaga peradilan yang dapat dipertimbangkan untuk diserahi kewenangan ini adalah MK.
Yuniar Riza Hakiki peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu)