"Waktu itu saya dan mungkin juga Menteri Luar Negeri Hasan menegur Dino," ujar Yusril kepada detikX, beberapa pekan lalu. Prosedur semestinya, kata Yusril, teks pidato Presiden ditulis dalam bahasa Indonesia. "Kemudian dibuatkan unofficial translation ke dalam bahasa lain."
Bahan-bahan untuk menyusun naskah pidato pun seharusnya dimintakan ke departemen terkait, dalam konteks saat itu Departemen Luar Negeri. "Saya juga ingatkan agar teksnya diketik Sekretariat Negara dan, sebelum ditandatangani Presiden, harus diparaf oleh Mensesneg," ujar Yusril. Dino belum menanggapi cerita Yusril ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika dipercaya memegang posisi Mensesneg dalam Kabinet Indonesia Bersatu I, Yusril memang sudah kenyang pengalaman soal tulis-menulis naskah pidato presiden. Dia sudah pernah jadi penulis pidato untuk Presiden Soeharto dan Presiden B.J. Habibie. Karirnya dimulai saat ditawari Mensesneg Moerdiono bergabung sebagai staf di kantor Sekretariat Negara pada pertengahan 1990-an. Saat itu Yusril masih mengajar di Universitas Indonesia. "Saya sendiri agak heran kok tiba-tiba ditawari," katanya. Pasalnya, menurut Yusril, dia kerap mengkritik pemerintah lewat tulisan-tulisan di media massa.
Belum lagi rekam jejak saat masih menjadi aktivis mahasiswa. Sikapnya sangat keras kepada Presiden Soeharto. "Saya pernah menulis spanduk besar menentang Presiden Soeharto dan ikut membakar patung Soeharto di perempatan kampus UI Salemba," ujar bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI itu. "Jadi saya sudah langganan berurusan dengan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban." Dia pun mengaku dekat dengan sejumlah tokoh Petisi 50, yang berseberangan dengan rezim Soeharto.
Bagaimana pengalaman Yusril menjadi penulis pidato untuk tiga Presiden RI : Soeharto, Habibie dan SBY, baca kisah selengkapnya di detikX, Dari Lawan Jadi Penulis Pidato Presiden Soeharto (pal/sap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini