Beredar Surat DPD RI untuk Tinjau Ulang Keberadaan MK

Beredar Surat DPD RI untuk Tinjau Ulang Keberadaan MK

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 31 Okt 2018 08:21 WIB
Gedung MK (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan melarang calon anggota DPD rangkap posisi sebagai pengurus parpol. Belakangan, beredar surat DPD yang menyerukan untuk meninjau kembali keberadaan MK.

Kasus bermula saat MK memutuskan MK memutuskan pengurus parpol dilarang menjadi senator pada 23 Juli 2018. Putusan ini membuat DPD kaget, terutama calon senator yang juga pengurus parpol yang maju pada Pemilu 2019 nanti.

Menengahi hal itu, MK membuat jumpa pers dan MK menegaskan, putusan tersebut dilaksanakan pada Pemilu 2019. Hal ini melihat tanggal pembacaan putusan pada 23 Juli 2018.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahwa sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno," kata hakim MK, I Gede Dewa Palguna, kepada wartawan di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Kamis 20 September 2018.


Menjawab hal itu, DPD ternyata menyikapinya dengan mengeluarkan surat seruan peninjauan ulang keberadaan MK.

"Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menyatakan sikap politiknya untuk segera meninjau kembali keberadaan Mahkamah Konstitusi yang dalam pelaksanan wewenang dan tugas konstitusionalnya tidak mencerminkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewajiban mengawal penegakan hukum dan konstitusi," demikian bunyi surat yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono yang dikutip detikcom, Rabu (31/10/2018).
Beredar Surat DPD RI untuk Tinjau Ulang Keberadaan MK

DPD menilai Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 di atas telah melanggar Pasal 28I UUD 1945. Yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

"Oleh karena itu, DPD RI memandang Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang telah menjadi dasai terbitnya Peraturan KPU Nomor 26/2018, adalah konstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945," ucap Nono dalam surat yang ditandatangani pada 21 September 2018 itu.


Surat itu ditujukan ke Presiden, Ketua MPR, Ketua DPD, Ketua MK, Ketua MA, Ketua KY dan Ketua BPK.

Belakangan, Oesman Sapta Odang (OSO) menggugat Peraturan KPU Nomor 26/2018 ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan. Putusan tersebut diketok majelis yang diketuai hakim agung Supandi dengan anggota hakim agung Is Sudaryono dan Yulius. Tapi MA belum membeberkan isi putusan tersebut.



Saksikan juga video 'Dianggap Tak Pantas, Ketua MK Didesak Mundur':

[Gambas:Video 20detik]

(asp/aan)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads