Menanggapi hal tersebut, Antropolog UGM Heddy Shri Ahimsa Putra mengatakan bahwa pelaku pembubaran sedekah laut adalah orang yang gagal paham. Sebab, tradisi sedekah laut bukan syirik seperti yang dituduhan.
"Itu (pelaku pembubaran) yang jelas orang yang enggak ngerti atau orang yang sudah punya prasangka buruk. Wong dia belum pernah tanya pada orang itu (penyelenggara) kok sudah punya prasangka syirik," kata Heddy kepada detikcom, Rabu (17/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Analoginya begini, kalau misalnya di kampung saya banyak preman, apa enggak boleh saya kemudian menyambangi premannya, nyapa baik-baik, kadang-kadang ngasih mereka hadiah apa enggak boleh supaya mereka enggak jahat sama saya?" tuturnya.
"Jadi itu sesungguhnya proses pertukaran sosial. Kemudian ketika dia membangun relasi itu tidak hanya dengan dunia supranatural, tapi sesungguhnya juga ada proses sosial di antara mereka, di antara orang-orang yang melakukan sedekah laut itu," lanjutnya.
Menurutnya, dalam pelaksanaan tradisi sedekah laut terjalin interaksi sosial di antara masyarakat pesisir pantai. Akhirnya lahir kesepakatan-kesepakatan sosial dan integrasi sosial di antara mereka.
"Jadi menurut saya agak aneh. Kalau orang mengatakan syirik, itu bukan syirik sama sekali. Itu bukan penyembahan pada sesuatu, enggak (menyembah), lain itu," tegas Heddy.
Sementara dalam kasus pembubaran sedekah laut di Bantul, Heddy menduga hal tersebut karena para pelaku terlalu berprasangka buruk kepada penyelenggara. Mereka menuduh tradisi tersebut syirik, padahal bukan.
"Mereka yang merusak itu sesungguhnya sudah punya prasangka buruk bahwa itu seolah-olah syirik, padahal itu belum tentu. Itu (sedekah laut) proses membangun komunikasi sesama dari pihak manapun, masak enggak boleh," tutupnya.
Saksikan juga video 'Ini Pantai Baru, Lokasi Sedekah Laut yang Dirusak Sekelompok Orang':
(sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini