"Meskipun kualitas meningkat, namun demokrasi menghendaki mayoritas suara menentukan keputusan akhir," ujar Hemas saat Pelatihan Sekolah Demokrasi Insan Cita di Hotel Sofyan Jakarta, Kamis malam (27/9/2018).
"Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, DPR dan DPD, diperlukan agar kepentingan perempuan tersuarakan dalam penyusunan kebijakan, program, terlebih soal anggaran yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, tak terkecuali perempuan Indonesia yang berjumlah 131,88 juta," jelasnya merujuk pada Data BPS Juni 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hemas juga menyoroti persoalan yang dihadapi perempuan terkait ketidakadilan gender. Menurutnya, beban ganda dan ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang menghambat perempuan untuk bergerak di ranah publik, termasuk marjinalisasi di bidang politik. Ia mencontohkan dalam penentuan nomor urut, perempuan caleg DPR yang memperoleh nomor urut 1 hanya sebanyak 19% atau 235 orang.
"Jauh sebelum menjadi anggota DPD, saya sudah berjuang dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, misal advokasi masyarakat pinggiran, disabilitas, anak perempuan yang mengalami kekerasan komunitas atau kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kriminalisasi. Namun ketika menjabat anggota DPD perjuangan menjadi lebih efektif karena dapat terlibat secara langsung dalam pembuatan undang-undang maupun kebijakan," kata Hemas.
Hemas mengatakan tidak ada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan.
"Tidak ada kebijakan perspektif gender tanpa kehadiran perempuan di politik. Tiada kesetaraan gender tanpa kesungguhan semua pihak mendukung perempuan Indonesia untuk maju. Demokrasi pincang tanpa kehadiran perempuan sebagai penentu," pungkasnya.
Simak Juga 'GKR Hayu, Antara Digitalisasi Keraton Yogya dan Promosi Wisata Budaya':
(idr/idr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini