MPR: Jangan Sampai Kebinekaan Hilang Gara-gara Pilpres

MPR: Jangan Sampai Kebinekaan Hilang Gara-gara Pilpres

Moch Prima Fauzi - detikNews
Jumat, 28 Sep 2018 22:39 WIB
Foto: dok. MPR
Jakarta - Anggota MPR dari Fraksi PKB Abdul Kadir Karding mengimbau agar masyarakat yang punya pilihan berbeda dalam pemilu tak merusak persatuan dan ideologi bangsa Indonesia. Ia mengatakan hanya karena perbedaan pilihan bisa mengganggu persatuan dan persaudaraan bangsa.

"Pilpres ini harus kita jaga. Jangan sampai persatuan dan kebinekaan hilang hanya gara-gara Pilpres. Jangan hanya gara-gara pilihan politik yang diekspresikan berlebihan dan kontra produktif bisa mengganggu kebhinnekaan, persatuan, persaudaraan sesama anak bangsa," Abdul Kadir dalam keterangan tertulis, Jumat (28/9/2018).



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu diungkapkan dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema "Menjaga Kebhinnekaan dalam Kampanye Capres," di Media Center MPR/DPR, gedung Nusantara III, kompleks parlemen, Jakarta, hari ini.

Ia menyebutkan, saat pilkada lalu, 40-50 persen konten yang beredar di media sosial adalah hoax. Selain itu, ada juga fitnah. Bahkan menurutnya, ruang keagamaan kadang dipakai untuk fitnah.

"Hoax dan fitnah itu tidak boleh terjadi kalau persatuan dan kebhinnekaan ini kita mau jaga," ungkapnya.

Dalam konteks pilpres, kata Abdul, kampanye dengan cara memfitnah, menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, provokasi, tidak sesuai dengan kebinekaan. Karena itu, ia mengimbau agar berkampanye dengan menjaga dasar Bhinneka Tunggal Ika.



Untuk itu ia mengungkap media mainstream dan media sosial berperan penting untuk mewujudkannya.

"Pilpres ini harus menjadi ajang edukasi politik," pintanya.

Anggota MPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini memiliki pendapat senada. Menurutnya, hoax dan persekusi orang berbeda pilihan bisa merusak Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, eksploitasi SARA juga bisa menimbulkan kegaduhan yang mengganggu kebhinnekaan.

"Kuncinya adalah kita harus mengembangkan toleransi, yaitu menghormati perbedaan-perbedaan yang ada," kata Jazuli.

"Ketika toleransi dilaksanakan secara benar dan jujur dalam kehidupan bernegara dalam pilpres dan pemilu, maka kekhawatiran perpecahan tidak akan terjadi di Indonesia," imbuhnya.

Sementara itu, pengamat politik dari UIN Ady Prayitno mengatakan Undang-Undang pemilu telah mengatur larangan-larangan dalam kampanye. Ia menyebut, dalam pasal 63 terdapat 11 larangan kampanye termasuk sanksi hukumnya. Misalnya, tidak boleh menghina suku dan agama tertentu, tidak boleh berkampanye di tempat-tempat ibadah, atau tempat pendidikan.

"Bagaimana menjaga kebhinnekaan dalam kampanye maka harus patuh dan taat dengan Undang-Undang. Kalau aturan ini dijalankan dengan baik dan bertanggung jawab maka tidak muncul masalah dalam kampanye," katanya.

Sedangkan untuk menciptakan kampanye yang tak merusak kebinekaan, lanjut Adi, diperlukan pendekatan terhadap elite-elite politik.

"Elite politik ini harus dipantau. Sebab elite politik yang mengendalikan tim sukses. Elite ini bisa meredam isu-isu yang mengganggu kebinekaan dan mengurangi resistensi dan konflik," pungkasnya. (mul/ega)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads