Putusan tersebut merupakan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh bakal caleg DPD dari Sulawesi Utara Syahrial Damapolii, bakal caleg DPD dari Aceh Abdullah Puteh, dan bakal caleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) karena merupakan mantan napi korupsi. Putusan ini membatalkan keputusan KPU daerah, sehingga kepesertaan ketiganya dianggap Memenuhi Syarat (MS).
Banyak pihak yang mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk meninjau putusan Bawaslu daerah tersebut, sebab diasumsikan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Namun demikian, keberanian Bawaslu daerah untuk menginvalidasi keputusan KPU patut diapresiasi, sebab merupakan koreksi atas ketentuan PKPU yang telah mencoreng logika hukum dan bersifat sewenang-wenang.
Dari Awal
Kesalahan dalam pelarangan eks napi korupsi pada dasarnya telah timbul dari awal penyematan Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20/2018 yang mensyaratkan, dalam seleksi bakal calon oleh partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Ketentuan ini bukan lagi bernilai pembatasan hak pilih, melainkan penghapusan hak konstitusional individu tertentu.
Tindakan KPU telah melebihi batas kewenangannya. Undang-undang saja, sebagaimana dikemukakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 51/PUU-XVI/2016, tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, pembatasan tersebut pun harus didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal, dan proporsional serta tidak berlebihan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pencabutan hak, khususnya hak pilih, seyogianya hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai bentuk hukuman tambahan atas tindak pidana yang dilakukan. Hukuman ini bersifat fakultatif dan tidak boleh dijatuhkan tanpa pidana pokok (Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, 2008). Sebab sejatinya, pencabutan hak pilih bersifat individual dan sekali selesai, artinya langsung ditujukan pada pihak tertentu dan untuk masa waktu tertentu. Pencabutan hak pilih tidaklah bersifat kolektif atau umum dan tidak pula berlaku secara terus-menerus.
Jauh sebelum polemik ini muncul, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 telah merumuskan syarat pembatasan persyaratan peserta pemilu berkenaan dengan penjatuhan pidana yang berkekuatan hukum tetap, yaitu: (1) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (3) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana; dan (4) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Aturan inilah yang kemudian diadopsi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tepatnya dalam Pasal 240 ayat (1) huruf f yang secara proporsional mengatur: "Setiap calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
Dengan mempertahankan aturan demikian, KPU berarti telah melanggar hak politik warga negara yang sejatinya merupakan hak asasi manusia yang melekat pada individu yang bersangkutan. KPU telah mengenyampingkan sederet aturan yang secara hierarkis lebih tinggi, yakni UU No. 7/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945, serta instrumen hukum internasional tentang perlindungan hak asasi manusia.
Tidak sampai di sana, kejanggalan lain dalam PKPU ini adalah tidak terdapatnya ukuran yang jelas perihal kejahatan yang dipersyaratkan dalam PKPU. Ada tiga jenis mantan terpidana kejahatan yang dilarang dicalonkan sebagai anggota legislatif, yaitu bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Dasar dan kapasitas KPU dalam menetapkan ketiga kejahatan ini sebagai pengeliminasi hak pilih patut dipertanyakan.
Perlu diingat pula bahwa pada pokoknya, pencabutan hak untuk dipilih tidak hanya berkaitan dengan tindak pidananya, melainkan juga dengan subjek pelaku tindak pidana. Pencabutan hak untuk dipilih lebih relevan ditujukan kepada pejabat publik (public officials) yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan wewenangnya, bukan kepada masyarakat umum yang melakukan tindak pidana umum.
Lagipula, UU No. 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi telah jelas menerangkan, para mantan terpidana, dengan jenis kejahatan apapun, cukup secara terbuka dan jujur mengemukakan statusnya kepada publik. Kritik ini tidak hanya ditujukan pada persyaratan calon anggota legislatif saja, tetapi juga kepada persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden (PKPU No. 22/2018) serta kepala daerah (PKPU No. 3/2017).
Tak Perlu Dipersoalkan
Bawaslu RI memang tidak berada pada perahu yang sama dengan KPU soal aturan pencabutan hak politik ini. Namun demikian, menurut pengamatan saya, hal ini tidak dapat serta-merta disimpulkan bahwa Bawaslu RI tak hendak mendayung perahu untuk mencapai penyelenggaraan pemilu yang adil dan berintegritas.
Banyak pihak yang mempertanyakan sikap Bawaslu RI, apabila tidak setuju dengan ketentuan tersebut, mengapa tak turut mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui, materi PKPU a quo tengah menjadi "bola panas" di ruang sidang Mahkamah Agung, tetapi Bawaslu tidak termasuk ke dalam pihak Pemohon. Mencermati Pasal 31A ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 3/2009), sesungguhnya Bawaslu tidak memenuhi kualifikasi untuk mengajukan judicial review di Mahkamah Agung.
Legal standing hanya dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang, atau badan hukum publik atau privat. Lagipula, Bawaslu RI bukanlah pihak yang haknya dirugikan, atau setidak-tidaknya berpotensi dirugikan dengan keberlakuan PKPU tersebut.
Berdasarkan keterangan Bawaslu RI pun, ketidaksetujuan ini telah disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR. Alasannya, PKPU melanggar hak konstitusional warga negara dan UU No. 7/2017. Dengan demikian, sikap Bawaslu tentang permasalahan ini tidak perlu dipersoalkan.
Sudah Tepat
Putusan yang dihasilkan Bawaslu daerah pada dasarnya sudah tepat. Apabila norma hukum yang lebih rendah bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, maka yang digunakan sebagai pijakan adalah norma hukum yang lebih tinggi. Oleh karena PKPU No. 20/2018 berlawanan dengan UU No. 7/2017, sudah semestinya Bawaslu berpegangan pada undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi, sebagai koreksi terhadap PKPU untuk memulihkan hak pilih warga negara.
Namun, di sisi lain semangat KPU untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi dapat dipahami sebagai bentuk tanggapan atas keresahan masyarakat dan hal tersebut perlu diapresiasi, meskipun menurut hemat saya, upaya yang dilakukan telah melenceng dari koridor hukum, kaidah konstitusional, dan rasionalitas.
Kerangka berpikir yang demikian malah bersifat kontradiktif dengan sistem keadilan pemilu (electoral justice) yang hendak menjamin pelaksanaan pemilu sesuai dengan kerangka hukum dan menegakkan hak pilih warga negara. Sebab ketentuan yang dibentuk KPU berdampak luar biasa dan tidak wajar, yakni menghapuskan hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan seumur hidup, bukan lagi bersifat pembatasan.
Mengikuti UU No. 7/2017 pada hakikatnya sudah cukup. Demi mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas, KPU cukup mengumumkan status calon anggota legislatif kepada publik. Hal ini juga menjadi bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat agar masyarakat secara objektif menilai sendiri track record calon yang bersangkutan.
Tugas KPU bukan untuk menentukan dan menyodorkan calon yang seperti apa yang mesti dipilih masyarakat. KPU hanya perlu memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan sendi-sendi keadilan pemilu.
Terlepas dari hal itu, sangat disayangkan, KPU bersikukuh untuk tidak menjalankan putusan tersebut dan tetap mencoret nama-nama bakal calon anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi. Padahal putusan Bawaslu daerah bersifat mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU, kecuali putusan tersebut dibatalkan di tingkat banding atau kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika masih enggan melaksanakan, bakal caleg dapat melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sebab telah melanggar kode etik dengan tidak mematuhi putusan Bawaslu daerah.
Baik Bawaslu maupun KPU, keduanya sedang membentuk preseden, baik preseden yang populer maupun yang tidak. Meredam ego sektoral antarpenyelenggara pemilu adalah hal penting untuk dilakukan saat ini. Sebab, apabila sampan di hulu tak kunjung berlayar, bagaimana bisa berlabuh hingga ke hilir?
Violla Reininda Haikal Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini