Menanggapi fenomena ini, dosen Departemen Ilmu Politik Fisipol UGM Mada Sukmajati menyayangkan aksi saling hadang tersebut. Menurutnya, aksi tersebut tak perlu terjadi apabila kedua kelompok yang berbeda pandangan mendapat perlakuan sama.
"Kalau yang (aksi) 2019GantiPresiden atau 2 periode itu dijamin semua saya rasa tidak ada masalah. Tetapi sangat bermasalah ketika melarang satu, dan kemudian membolehkan yang lain," katanya kepada detikcom, Senin (3/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mada menuturkan, polemik hadang-menghadang muncul karena tidak adanya kesepahaman terkait aksi 2019GantiPresiden. Kubu pro menyebut aksi tersebut bukan kampanye, namun kubu kontra tak sependapat.
"Kalau itu (aksi 2019GantiPresiden) disebut sebagai kampanye ya saya kira harus ditertibkan. Tapi kalau itu didefinisikan bukan sebagai kampanye ya seperti sebuah bentuk ekspresi atau opini, ya saya kira tidak bisa itu dilarang," ucapnya.
"Jadi ini perlu kita sepakati dulu terutama dari pihak penyelenggara pemilu (KPU serta Bawaslu), definisi ini (aksi 2019GantiPresiden) masuk kategori atau definisi kampanye atau bukan," ujarnya.
Merujuk undang-undang, lanjut Mada, kampanye merupakan menyampaian visi-misi, dan program. Sementara terkait aksi 2019GantiPresiden, lanjutnya, menjadi tugas KPU serta Bawaslu untuk mengkategorikannya.
Apabila aksi 2019GantiPresiden dikategorikan bukan kampanye, maka kepolisian harus memperlakukan aksi tersebut sama dengan aksi menyampaikan pendapat di muka umum lainnya. Mereka bebas berekspresi asalkan tidak menabrak aturan.
"Demonstrasi atau menyampaikan pendapat itu kan juga ada aturannya, bahwa harus melapor dulu berapa hari sebelumnya, (melaporkan) jumlah pesertanya, dan lain sebagainya. Saya kira bisa masuk ke situ saja pengaturannya," pungkas Mada. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini