Kita patut bangga dengan penyelenggaraan ini. Ada setidaknya 3 sisi sukses kita di perhelatan ini. Yang pertama adalah sukses penyelenggaraan. Meski hanya jadi penyelenggara karena kebetulan, karena calon tuan rumah sebelumnya yaitu Hanoi mengundurkan diri, Jakarta dapat melakukan persiapan yang baik. Baik infrastruktur venue, maupun sarana penunjang, semua berfungsi dengan baik.
Dari sisi organisasi penyelenggaraan juga sangat positif. Tidak ada insiden memalukan selama berlangsungnya acara. Setiap pertandingan berjalan lancar. Acara pembukaan meriah dan mengesankan. Demikian pula acara penutupan. Yang sempat kacau dan banyak dikeluhkan adalah sulitnya bagi masyarakat untuk mendapat tiket pertandingan. Padahal dalam setiap acara selalu tampak adanya kursi-kursi kosong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sukses ini bisa kita urai maknanya. Pertama, tentu saja disebabkan adanya cabang pencak silat, di mana kita memborong medali. Perolehan itu membuat perolehan medali kita meroket, dan peringkat kita melesat naik. Kedua, keuntungan kita sebagai tuan rumah juga berperan sangat besar. Bertanding di kandang sendiri membuat atlet-atlet kita kenal medan secara lebih baik dibanding lawan. Ditambah lagi dengan dukungan penonton yang lebih dominan.
Tapi, di luar soal itu secara nyata memang terlihat peningkatan prestasi para atlet. Sebelum panen medali di cabang pencak silat, kita sudah melampaui target perolehan medali, yaitu 16 emas, dan masuk 10 besar. Ada sumbangan medali dari cabang-cabang yang bukan cabang di mana kita kuat secara tradisional, seperti tenis, tae kwon do, wushu, dan sebagainya.
Yang tak kalah menarik, kuartet pelari estafet kita memenangkan medali perak di nomor 4 x 100 meter, sebuah nomor bergengsi di cabang atletik. Hal-hal semacam ini memberi harapan bahwa kita tetap bisa berprestasi baik, meski bukan dengan 31 medali emas, di Asian Games yang akan datang, maupun di Olimpiade.
Sukses dalam bentuk lain adalah keterlibatan dan keriangan masyarakat. Tampak begitu kentara bahwa masyarakat ikut serta dengan riang, meramaikan acara ini. Berbagai venue pertandingan diramaikan oleh orang-orang yang hendak menonton pertandingan, atau sekadar ingin menikmati kemeriahan suasana. Masyarakat telah menjadi bagian penting dari perhelatan ini.
Kini perhelatan itu sudah usai. Lalu, apa hal-hal penting yang perlu kita perhatikan?
Pertama, kita harus kembali pada kehidupan rutin kita. Ibarat orang selesai menyelenggarakan pesta, kini saatnya kita kembali pada kenyataan. Pada pesta kita tampilkan sisi-sisi terbaik kita. Sebagian di antaranya dengan polesan kosmetik tebal agar tambah indah. Kini kita harus kembali ke kehidupan tanpa kosmetik itu. Beberapa bagian di antaranya sungguh memalukan, bahkan menyakitkan.
Jakarta bukanlah kota yang cantik seperti kita sajikan selama Asian Games. Kota ini kotor dan bau. Salah satu topik yang sempat jadi perbincangan beberapa minggu adalah soal Kali Item yang kotor itu. Kini kita harus kembali ke persoalan kali-kali Jakarta yang kotor, yang harus ditangani dengan benar, tidak cukup dengan penanganan instan yang konyol. Pemda DKI harus bekerja keras dengan program nyata untuk menanganinya.
Selama Asian Games jalan-jalan relatif lancar, karena pemberlakuan sistem ganjil genap. Pemerintah DKI nampaknya sangat menikmati sukses itu. Kini sistem itu sepertinya akan terus dipertahankan. Masalahnya, itu adalah tindakan instan, mirip dengan menutup Kali Item dengan plastik. Tanpa sarana transportasi umum yang memadai sistem ganjil genap akan jadi masalah besar. Efek ekonominya akan sangat besar.
Kita juga akan dihadang oleh masalah besar, yaitu banjir. Untunglah acara Asian Games berlangsung dalam musim kemarau. Selama acara kita bebas dari ancaman banjir. Tapi ancaman itu nyata sekarang. Pemerintah DKI hingga saat ini belum menunjukkan program serius yang terstruktur untuk mengatasi masalah ini.
Ada setumpuk masalah lain yang harus dibenahi di Jakarta, untuk bisa mempertahankan apa yang kita saksikan selama Asian Games. Itu semua memerlukan kerja yang sangat serius.
Atlet-atlet kita sudah berprestasi sangat baik selama Asian Games. Tentu saja kita tidak berharap prestasi itu hanya sekali berarti, sesudah itu mati. Prestasi itu harus dipertahankan dan ditingkatkan, dengan pembinaan terprogram. Pemerintah dan induk organisasi setiap cabang olah raga juga diharapkan punya program yang baik.
Yang tak kalah penting adalah soal persatuan nasional. Suasana perpecahan akibat preferensi politik begitu terasa di tengah Asian Games. Penampilan Presiden di pembukaan Asian Games, yang sebenarnya tidak politis, hanya bersifat pertunjukan, ternyata dimaknai sangat politis oleh segolongan orang. Demikian pula langkah Presiden untuk menyampaikan pesan penutupan dari Lombok. Sebuah usaha positif dengan tujuan untuk membangkitkan semangat warga Lombok, serta mengingatkan kita semua untuk peduli, bagi sekelompok orang hanya dianggap pencitraan politik belaka.
Tokoh-tokoh nasional tampak akur selama Asian Games. Puncaknya adalah pelukan antara Jokowi dan Prabowo. Rakyat berharap suasana sejuk tercipta setelah Asian Games. Tapi tampaknya harapan itu akan sia-sia. Prabowo sendiri tak lama setelah itu kembali menyampaikan serangan politik, menuduh seolah pemerintah saat ini sedang berusaha menghancurkan Indonesia. Itu sebuah kampanye politik yang sangat negatif yang dikumandangkan Prabowo, dan terus menerus dikumandangkan para pendukungnya. Inilah salah satu sumber perpecahan di tengah masyarakat.
Apa boleh buat, ada banyak kenyataan pahit yang akan kita hadapi seusai Asian Games. Suka atau tidak, kita harus menjalani itu semua. Ada bagian di mana kita bisa berpartisipasi memperbaikinya. Selebihnya, tergantung pada kaum elit bangsa ini. Hendak ke mana bangsa ini dibawa seusai Asian Games?
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini