Sebelum rezim berakhir, pemerintahan Presiden Joko Widodo masih memiliki satu kesempatan lagi dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2019. Sebagaimana dalam penyusunan anggaran tahun-tahun sebelumnya, pemerintah senantiasa mencantumkan target-target yang "menebarkan pesona". Namun, dari beberapa tahun yang telah kita saksikan bersama, target yang menebar pesona itu justru berubah menjadi jala yang menjerat. Target demi target tergelincir, meleset jauh, dan pemerintah dengan begitu lihainya selalu punya kilah menanggapinya.
Mari kita sekilas mengulik masa silam. Sebab bak kata sebuah kalimat bijak: masa lalu adalah pelajaran. Nah, di masa lalu, tepatnya ketika Joko Widodo yang baru saja dilantik menjadi presiden ke-7, beliau mengujarkan pernyataan yang sungguh memberi angin segar. Presiden Joko Widodo berjanji bahwa dalam masa pemerintahannya ia bakal membuat pertumbuhan ekonomi bertengger di angka 7 persen. Hingga kini, empat tahun sejak janji itu diikrarkan, pertumbuhan ekonomi stagnan di level 5 persen.
Dalam RAPBN 2019 kali ini dicantumkan bahwa target pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 5,3 persen. Hal yang tentu kita semua ingat, 2019 merupakan tahun terakhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sementara, untuk tahun ini dalam APBN-P 2018 target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen. Permasalahannya, akankah kita dapat mencapai target ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Kuartal III tahun ini, Asian Games (Agustus-September) diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Berlanjut pada Pertemuan IMF-WB (Oktober) mendorong untuk Kuartal IV. Menurut berbagai prediksi, kedua ajang akbar itu bakal memberi masukan besar bagi perekonomian nasional. Mari kita saksikan nantinya apakah hal ini benar, dan apakah pertumbuhan ekonomi 2018 mampu mencapai target, yakni 5,4 persen.
Selain pertumbuhan ekonomi, dalam RAPBN 2019 dicantumkan target (kisaran) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yaitu Rp 14.400. Angka ini telah mengalami revisi dari asumsi kurs antara Rp 13.700 hingga Rp 14.000, mengingat masih kuatnya tekanan atas ekonomi global pada 2019. Dapat kita catat, pada Kamis (23/8) silam, rupiah telah meringsek hingga Rp 14.600 per dolar AS. Ini merupakan kenyataan tragis yang benar-benar berlaku. Ramuan kebijakan moneter dan pengerekan instrumen BI-7 Day Repo Rate (saat ini 5,25 persen) yang dilakukan oleh Bank Indonesia tak mampu menahan laju pergerakan nilai tukar ini.
Anjloknya nilai tukar ini dinilai memberi manfaat bagi eksportir. Namun, bagaimanakah dapat dikatakan memberi manfaat bila ternyata porsi impor kita lebih besar daripada ekspor? Tercatat di Kuartal II-2018 impor mencapai 15 persen, sedangkan ekspor hanya setengahnya yaitu 7,7 persen. Perlu diingat bahwa bahan baku untuk menghasilkan produk ekspor justru masih diimpor. Ini menyebabkan masih besarnya porsi impor dibanding ekspor. Di samping anggapan bahwa produk-produk Indonesia tidak cukup berdaya untuk bersaing di pasar dunia. Padahal idealnya porsi ekspor harus melebihi impor.
Akibat dari merosotnya nilai tukar, cadangan devisa terkuras hingga akhir Juli 2018 menjadi 118,3 miliar dolar AS. Bila pemerintah melalui tangan BI tak mampu mengerem penguatan mata uang Paman Sam tersebut, maka dikhawatirkan cadangan devisa bakal tergerus lebih dalam. Untuk menahannya ada dua opsi; mengerek kembali suku bunga, atau menutup defisit transaksi berjalan. Mengerek suku bunga cukup berat untuk dilakukan mengingat saat ini telah berada di posisi ahead the curve. Bahkan pengusaha mulai resah dengan kenaikan suku bunga dalam periode setahun terakhir.
Dalam RAPBN 2019 harga minyak juga ditetapkan sebesar 70 dolar AS per barel. Harga ini cukup antisipatif dibanding tahun lalu ketika pemerintah menetapkan harga minyak 48 dolar AS per barel ketika harga minyak mentah dunia telah mencapai 50 dolar AS per barel. Sementara, lifting minyak bumi 750 ribu barel per hari. Hal yang justru menjadi aneh, di tengah tren harga minyak dunia yang meningkat subsidi energi justru dipangkas.
Secara keseluruhan dapat kita lihat dalam RAPBN 2019 total belanja negara sebesar Rp 2.439,7 triliun. Angka ini meningkat signifikan dibanding 2018 sebesar Rp 2.204 triliun. Di samping itu penerimaan pajak diharapkan mampu mendulang target Rp 1.781 triliun. Defisit APBN juga semakin dipersempit sebesar 1,84 persen, dari 2018 yaitu 2,19 persen. Secara singkat, dapat disebut bahwa RAPBN 2019 ini merupakan rancangan anggaran yang ekspansif, dalam artian lebih realistis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Atas berbagai target yang tercantum di dalam RAPBN 2019 tersebut kita berharap agar semua dapat tercapai atau bahkan terlampaui. Sebab, 2019 adalah tahun pertaruhan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo; apakah ia mampu bertahan di tampuk kekuasaan, atau justru terjungkal.
Muhammad Husein Heikal analis Economic Action (EconAct) Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini