Jejak IGK Manila, Soeharto dan Om Liem di Olahraga Wushu

Jejak IGK Manila, Soeharto dan Om Liem di Olahraga Wushu

Sudrajat - detikNews
Senin, 27 Agu 2018 09:10 WIB
IGK Manila, Bapak Wushu Indonesia (Grafis: Nadia Permatasari W)
Jakarta -

Cabang olahraga Wushu menyumbang empat medali bagi Indoensia di ajang Asian Games kali ini, yakni diraih oleh Lindswell Kwok (emas di nomor taijiquan dan taijijian all-around), Edgar Xavier Marvelo (perak di nomor changquan putra), serta perunggu oleh Achmad Hulaefi dan Yusuf Widiyanto.

Tapi jauh sebelum olahraga ini mendulang prestasi, ada kisah getir dan perjuangan panjang di dalamnya. Cerita bermula dari pesta olah raga Asia Tenggara (Sea Games) 1991 di Manila, Filipina. Kala itu Indonesia nyaris tersalip tuan rumah, dengan selisih satu medali, 92 dan 91. Dari hasil evaluasi, rupanya Filipina mendulang banyak emas dari cabang olahraga Wushu.

"Dari 12 emas yang diperebutkan, 10 diraih Filipina dan sisanya oleh Malaysia dan Vietnam atau Singapura, saya lupa persisnya," kata Mayjen (Purn) I Gusti Kompyang (IGK) Manila kepada detiksport di Akademi Bela Negara, Kamis (23/8).

IGK Manila, Bapak Wushu IndonesiaIGK Manila, Bapak Wushu Indonesia Foto: Sudrajat/detik.com

Dari kenyataan itu, Ketua Umum KONI Jenderal (Purn) Surono Reksodimedjo memerintahkan Manila selaku wakil ketua kontingen Indonesia untuk menyiapkan tim wushu agar bisa ikut serta pada Sea Games 1993 di Singapura. Manila yang waktu itu baru berpangkat Kolonel tak kuasa mengelak. Meski waktu sangat mepet, "Ya, saya cuma bisa bilang, 'Siap Pak, Laksanakan!'. Padahal pusing juga bagaimana mewujudkan hal itu," ujarnya mengenang.

Meski dirinya aktif di olahraga pernafasan Taichi, dia mengaku tak terlalu tahu apa sesungguhnya olahraga wushu. Alumnus Akademi Militer Nasional 1964 lantas berkeliling daerah mengumpulkan segala informasi tentang wushu dari komunitas-komunitas Tionghoa. Salah seorang pegiat Taichi yang banyak membantunya adalah Mediteransyah Masnadi.

Respons mereka yang ditemui beragam. Ada yang antusias, sekedar basa-basi, bahkan malah mencurigainya. Mereka cemas karena sosok Manila tak cuma perwira ABRI, tapi juga banyak berkiprah di dunia intelijen. Maklum, kala itu aktivitas masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia sangat tidak bebas. Mereka selalu dicurigai sebagai ekses dari Gerakan 30 September 1965.

"Ya, waktu itu aparat masih sangat represif. Di Brebes ada kejadian beberapa orang yang mau latihan wushu karena bawa alat-alat peraga malah ditangkap, dicurigai macam-macam," kata Manila.

Kepengurusan wushu yang dirintis Manila bersama Mediteransyah di berbagai daerah pun diharuskan melapor ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Pemerintah mengiranya sebagai organisasi kemasyarakatan, bukan organisasi olahraga.

"Di awal 1990, wushu termasuk kegiatan yang dilarang muncul ke ruang-ruang publik. Mau latihan saja harus sembunyi-sembunyi," ungkap Herman Wijaya, mantan atlet wushu yang kini menjadi pelatih dalam buku IGK Manila, Panglima Gajah, Manajer Juara karya Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso.

Kurangnya pemahaman pemerintah atas rencana KONI, membuat Manila akhirnya langsung menemui para petinggi Depdagri. Tak cuma itu. Dia juga akhirnya menghadap Menko Polkam Laksamana Sudomo agar pengawasan terhadap komunitas Taichi maupun Wushu dikendorkan.

Persoalan berikutnya, Manila dihadapkan pada realitas dirinya tak punya uang sama sekali. Padahal untuk membina atlet tentu perlu pelatih yang paham benar seluk-beluk wushu. Dari Kedutaan RRC yang disambanginya di kawasan Senayan, dia mendapatkan dua nama master wushu; Wang Dong Lien dan Deng Chang Li.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Tak ingin menemui lagi kendala, Manila mengambil jalan pintas dengan menemui Presiden Soeharto di kediaman, Jalan Cendana. Dia berani melakukan hal itu karena telah mengenal Soeharto sejak 1967, dan pernah menjadi pengawalnya. "Saat Pak Harto menjadi Panglima Kolaga di Kalimantan, saya yang kawal beliau," ujarnya.

Saat menyampaikan paparan seputar rencana pengembangan wushu dan kendala yang dihadapinya, Soeharto cuma manggut-manggut. Tapi kemudian dia mengangkap gagang telepon berwarna merah dan menghubungi seseorang. Manila mengaku tak tahu persis siapa yang dihubungi sang Penguasa Orde Baru itu.

"Tapi kemudian Pak Harto meminta saya ke Gunung Sahari. Itu kediaman sahabat beliau, Om Liem (taipan Liem Sio Liong)," ujar Manila.

Dari Om Liem, selain mendapatkan akses untuk menemui sejumlah tokoh wushu di Tiongkok, dia juga mendapat sangu untuk menjemput dua master wushu, Wang dan Deng. Sementara untuk operasional selama keduanya melatih di berbagai daerah, kata Manila, biaya ditanggung oleh para pengurus wushu daerah.

Tak cuma dari Om Liem, Manila mengaku mendapat bantuan perlengkapan latihan berupa sepatu, pedang, golong, tombak, toya, dan lainnya dari pengusaha sahabat Soeharto lainnya di Semarang, Om Tikno.

Dengan segala persiapan yang serba mepet, pada Sea Games 1993, Indonesia menyertakan 14 atlet wushu dari 100-an atlet yang menjadi anak asuh Wang dan Deng. Hasilnya, Indonesia cuma meraih dua perunggu. Kebanyakan atlet masih demam panggung. Tapi dalam perjalanan berikutnya secara bertahap, wushu bisa membuktikan sebagai cabang olahraga yang membanggakan. "Semua butuh waktu, ada proses dan kerja keras," ujar Manila.


Simak Juga 'Tutup Karir dengan Cemerlang, Lindswell Hadiahi Indonesia Emas':

[Gambas:Video 20detik]

Jejak IGK Manila, Soeharto dan Om Liem di Olahraga Wushu
(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads