Penanganan persoalan keagamaan di Indonesia masih membutuhkan formula yang tepat. Menurut kepolisian, sepanjang 2015-2016 jumlah konflik yang bersumber dari masalah suku, agama, dan antar-golongan (SARA) masih mendominasi di Indonesia. Angkanya mencapai 1.568 kejadian. Konflik ini ditengarai melibatkan kelompok-kelompok intoleran yang ada di masyarakat.
Di sisi lain, banyak pemidanaan terhadap pandangan dan keyakinan individu tertentu dari religius minoritas, prosecuting believe (mengadili keyakinan) tersebut banyak berakhir dengan vonis penjara. Amnesty International pernah merilis bahwa sejak 2004 di Indonesia setidaknya ada 106 orang dipidana di bawah UU yang mengatur soal penodaan agama.
Dalam beberapa kasus di Indonesia, kadang sulit dibedakan antara prosecuting believe (mengadili keyakinan) dan penodaan agama. Untuk itu, perlu kehati-hatian dalam menangani kasus-kasus tersebut, agar tidak mudah menabrak kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagai hak asasi manusia.
Ada beberapa kasus di Indonesia yang bisa dikategorikan prosecuting believe (mengadili keyakinan), beberapa di antaranya menjadi isu nasional yaitu: kasus Ahmadiyah, Komunitas Millah Abraham, Yusman Roy, LDII, Jamiyatul Islamiyah, Ahmad Tantowi dari Cirebon (Surga Adn), Hidup di Balik Hidup, Syiah di Sampang, Salamullah (Lia Eden), Al-Haq, Millah Ibrahim, Gafatar, pengakuan nabi oleh Jari dari Jombang, dan lainnya.
Untuk memberikan perlindungan terhadap agama, sejak lama telah dikeluarkan Penetapan Presiden RI No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta KUHP Pasal 156a yang menetapkan hukuman pidana atas penistaaan agama. Sebagian pihak menyebut UU tersebut dibutuhkan untuk melindungi agama. Namun, sebagian lainnya menilai, UU itu potensial disalahgunakan untuk memberangus kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pada 2009, pernah dilakukan uji materiil atas UU No.1/ PnPs/1965 karena dinilai menjadi salah satu hambatan bagi terpenuhinya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, MK kemudian menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Dengan demikian UU No.1/PnPs/1965 adalah konstitusional.
Dalam realitasnya, sangat disayangkan implementasi UU No.1/ PnPs/1965 ini juga sering dilanggar, misalnya masih dijumpai adanya massa menyerang atau menyegel masjid komunitas Ahmadiyah. Padahal berdasarkan UU tersebut, telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada 2008 yang isinya di samping melarang penyebaran paham yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama mainstream, juga terdapat larangan bagi warga masyarakat untuk berbuat kekerasan.
Sejauh ini, ada tiga model penanganan yang pernah dilakukan dalam kasus-kasus "penodaan agama" yang terjadi di Tanah Air. Pertama, mediasi/dialog --contoh kasus LDII (2007), Jamiyatul Islamiyah (2008), pengakuan nabi oleh Jari dari Jombang (2016). Kedua, pengadilan dan sanksi pidana (Pasal 156a KUHP) --contoh kasus Arswendo Atmowiloto (1990), Yusman Roy (2005), Musodeq/Qiyadah Islamiyah (2007), Lia Eden/Salamullah (2009), Ahmad Tantowi/Surga Adn (2010), Tajul Muluk/Syiah Sampang (2012), Gubernur Ahok (2016). Ketiga, penerbitan SKB (UU No 1/PnPs/ 1965) --tontoh kasus Ahmadiyah (2008) dan Gafatar (2016).
Secara empiris, dalam kasus LDII, Jamiyatul Islamiyah, dan pengakuan nabi oleh Jari dari Jombang, penyelesaian kasus yang dilakukan melalui langkah mediasi atau dialog dianggap berhasil. Melalui mediasi/dialog ini, pihak-pihak terkait melakukan klarifikasi sehingga dugaan adanya penodaan agama dapat "diluruskan". Pilihan ini kiranya perlu menjadi model sebagai bentuk kehati-hatian dalam penanganan kasus tuduhan penistaan/penodaan agama, jangan sampai seseorang dipidana hanya karena rumor atau karena memiliki pandangan dan keyakinan religius minoritas.
Untuk memberikan efek jera, penegakan hukum atas penistaan agama memang perlu dilakukan. Namun, jangan sampai vonis dijatuhkan bukan atas prinsip keadilan tapi seiring dengan adanya tekanan massa. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus dugaan penodaan agama melalui mediasi atau dialog penting dilakukan sebelum pilihan proses jalur hukum. Hal ini dirasa lebih bijak, mengingat keunikan kasus penistaan agama ini yang berbeda dengan kasus pidana lainnya, yaitu terkait pengalaman subjektif keagamaan, intensitas emosi keagamaan, adanya kemungkinan pilihan metode penafsiran, otoritas ilmu, dan keragaman sumber rujukan oleh si pelaku.
Melalui mediasi dan dialog, sangat mungkin terjadi pergeseran pandangan keagamaan (konversi) para pelaku. Apalagi jika yang terjadi hanya kesalahpahaman, di mana si pelaku tidak ada niat atau kesengajaan melakukan penodaan agama, maka melalui mediasi dan dialog akan ada klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan.
Langkah mediasi dinilai lebih mencerdaskan masyarakat dalam menyikapi pemikiran keagamaan, mendorong komunikasi yang konstruktif berbagai pihak, serta lebih menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan. Melihat urgensinya bagi penyelesaian tuduhan kasus-kasus "penodaan agama", kiranya mediasi dan dialog tersebut ke depan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak hanya sekadar menjadi pilihan, namun bagian dari tahapan langkah penyelesaian kasus.
Jamil Wahab peneliti Aliran dan Paham Keagamaan pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
(mmu/mmu)