"Kami meminimalkan tumpang tindih batas dan klaim atas lahan hutan, serta mengelola konflik tenurial, antara masyarakat dan perusahaan pada khususnya dan agenda kehutanan sosial," kata Siti dalam keterangan tertulis, Kamis (9/8/2018).
Hal itu diungkap Siti pada acara Working Lunch on SoIFO The State of Indonesia's Forests 2018, yang dihadiri duta besar negara sahabat, dan para pemimpin organisasi internasional di Jakarta, Rabu (8/8/).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ia juga mengatakan pemerintah memiliki komitmen untuk partisipasi dan pemberdayaan masyarakat melalui percepatan program perhutanan sosial. Sebelum tahun 2015, masyarakat hanya dapat mengelola 7% dari kawasan hutan, tetapi dengan agenda Presiden Jokowi tentang Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, itu akan meningkat secara signifikan menjadi 33%.
Siti mengatakan, untuk reforma agraria dilakukan dengan skema distribusi lahan seluas 4,1 juta hektar, dan Perhutanan Sosial 12,7 juta hektar.
Menurut Siti, paradigma konservasi hutan juga bergeser dari pagar kawasan lindung dan mengecualikan orang, ke agenda bermitra dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi untuk mengelola wilayah tersebut.
"Kami merancang zona tradisional di dalam taman nasional untuk dikelola secara kolaboratif dengan masyarakat. Kami juga mengelola sekitar 27,4 juta hektar kawasan konservasi hutan dan laut menggunakan manajemen berbasis resor sehingga masalah di lapangan dapat ditangani dengan cepat dan tepat," ucap Siti.
Siti mengatakan pemerintah juga telah mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menjaga kontribusi ekonomi kayu terhadap ekonomi nasional namun mempertahankan sumber daya hutan dan lingkungan. Menurutnya, instrumen ini sangat penting untuk mencapai pengelolaan hutan produksi lestari di Indonesia. Indonesia juga merupakan negara pertama yang menandatangani perjanjian FLEGT-VPA dengan UE.
"Paradigma baru pengelolaan hutan tidak hanya mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial, tetapi juga aspek ekonomi. Dengan lebih mengintensifkan pemanfaatan jasa ekosistem hutan termasuk daerah aliran sungai, air untuk energi, keanekaragaman hayati, penyerapan karbon dan bahkan panas bumi dan tenaga air," paparnya.
Upaya pemerintah dalam pergeseran paradigma melalui langkah-langkah penanganan deforestasi hingga peningkatan kontribusi sumber daya hutan untuk pembangunan ekonomi itu dirangkum dalam buku berjudul 'The State of Indonesia's Forest (SoIFO) 2018'. Buku ini disiapkan KLHK, FAO Representative dan didukung pemerintah Norwegia. (idr/idr)











































