Kedua embung tersebut dibangun pada tahun 2007 yang berada di Dusun Penggung, Desa Boto dengan luas 30 meter x 40 meter. Kemudian, satu embung lainnya dibangun pada tahun 2009 yang berada di Dusun Boto, Desa Boto dengan luas 25 meter x 30 meter.
Air dari kedua embung itulah yang mengaliri air lahan pertanian di sekitarnya seluas 25 hektaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, sejak akhir Juni lalu atau setelah Lebaran, air diembung mulai surut. Bahkan untuk saat ini kedua embung tersebut telah kering.
![]() |
Salah seorang petani, Wagiman (54), warga Dusun Boto RT 02/RW 07, Desa Boto mengatakan, keberadaan embung sangat membantu bagi petani penggarap maupun petani lainnya. Untuk itu, saat bulan Puasa lalu, masih ada air kemudian lahan garapannya ditanami jagung.
"Kami garap seperempat hektar lahan bengkok, kami tanami jagung. Jenis jagung kecil untuk pakan burung, tapi ini sudah pada mati. Kemarin ada yang menawar Rp100 ribu mau dibeli untuk pakan ternak," katanya saat ditemui di Dusun Boto, Desa Boto, Kecamatan Bancak, Senin (6/8/2018).
Karena kurang air, kata dia, selain tanaman jagung ada yang mati, ada juga sebagian yang berbuah, sekalipun nanti saat dipanen hasilnya tidak memuaskan.
"Kalau dihitung-hitung, kami telah rugi. Dulu sudah sempat nyedot air dari embung juga, yang pasti rugi pembelian bibit," tuturnya.
Kepala Desa Boto, Kecamatan Bancak, Sjaichul Hadi menambahkan untuk di Desa Boto ada tiga embung, kemudian saat ini kedua embung kondisi airnya kering. Sedangkan satu embung berada di Dusun Gunung, masih ada airnya karena berdekatan dengan sumber mata air.
"Dari total 152 hektare lahan pertanian, 90 persen tidak bisa ditanami, juga ada dari 90 persen tadi yang gagal panen. Jadi biasanya warga di Desa Boto ini sebagian besar petani menanam dua kali dalam setahun," katanya.
"Untuk selanjutnya karena sebagian besar tanahnya tadah hujan dengan mengandalkan bantuan dari embung itu, sehingga tidak bisa menanam atau mungkin berusaha menanam ketiga kalinya tapi tidak panen," ujar dia.
![]() |
Untuk embung yang ada saat ini, katanya, tidak bisa digunakan karena embung untuk menampung air hujan.
"Ada dua embung yang tidak bisa digunakan, kemudian embung ketiga bisa, tapi tidak menjangkau cukup banyak dan hanya di sekitarnya saja. Dari dua embung itu ada sekitar 25 hektar lahan yang tidak bisa ditanami, ada tanah warga dan tanah kas desa," kata dia.
Pada saat musim kemarau karena tidak bisa menanam, warga kemudian bekerja serabutan. Bahkan ada juga warga yang merantau di luar daerah.
"Ada warga yang kerja di bangunan, ada yang merantau di Jakarta, ada di luar Jawa juga untuk bekerja," pungkasnya. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini