Pembenaran aborsi di kasus itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP di atas merupakan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam Pasal 31 ayat 1 PP Nomor 61/2014 disebutkan tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehamilan akibat pemerkosaan dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter. Selain itu, dengan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan.
Namun PP 61/2014 memberi batas maksimal waktu aborsi. Dalam Pasal 31 ayat 2 disebutkan:
Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Nah, berdasarkan Pasal 31 ayat 2 itulah, PN Muara Bulian menolak alasan pembenar si anak. PN Muara Bulian mengesampingkan moralitas dan menerapkan kacamata kuda dalam memutus kasus itu.
"Yang namanya korban seharusnya dapat pendampingan, ternyata dia malah dapat vonis hukum karena dia melakukan aborsi," kata perwakilan Kesatuan Alumni Atma Jaya, Popo.
Kasus bermula saat si kakak memperkosa adiknya pada September 2017. Pemicunya, si kakak menonton film porno. Si kakak usianya 17 tahun, si adik usianya 15 tahun.
Dalam kasus itu, tiga orang jadi tersangka, yaitu:
1. Ibu, saat ini sedang diproses di kepolisian.
2. Anak laki-laki, dihukum penjara karena memperkosa adiknya.
3. Anak perempuan, dihukum penjara karena menggugurkan janin hasil perkosaan.
Pada 19 Juli 2018, PN Muara Bulian menjatuhkan hukuman:
1. Kakak dihukum 2 tahun penjara dan 3 bulan pelatihan kerja.
2. Adik dihukum 6 bulan penjara dengan pelatihan kerja 3 bulan.
Si ibu masih diproses di kepolisian. (asp/aan)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini