Meskipun baru sebatas mengajukan diri sebagai pihak terkait, gelagat ini dapat dikatakan sebagai alarm bahaya bagi kehidupan demokrasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebab, upaya mencari celah hukum demi memperoleh kesempatan ketiga sebagai cawapres tak hanya melucuti nalar berkonstitusi terkait dengan pembatasan untuk dapat kembali maju sebagai cawapres setelah dua periode, serta kedudukan wakil presiden sebagai pembantu presiden.
Namun, jauh daripada itu, apabila kemudian kesempatan itu benar-benar diberikan oleh MK dengan mengabulkan permohonan Partai Perindo, hal tersebut akan membuka jalan lahirnya kembali otoritarianisme di Indonesia. Hal itu sebagai akibat hilangnya pembatasan berapa periode seseorang dapat memegang jabatan-jabatan politik dalam ranah eksekutif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika ditarik jauh ke belakang, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tetap dipertahankan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Angka 20% (dua puluh persen) perolehan kursi di DPR atau 25% (dua puluh lima persen) perolehan suara sah nasional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat mengusung capres dan cawapres dalam pilpres.
Ketentuan presidential threshold tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada akhirnya membuat hampir seluruh partai yang saat ini di DPR dipaksa berkoalisi dengan partai lain. Sebab, sejak kita mengadobsi sistem multipartai terbuka, tak sekalipun pemilu legislatif di Indonesia menghasilkan mayoritas tunggal di DPR. Kalaupun terdapat kubu mayoritas di DPR, hal itu terjadi akibat adanya koalisi. Bukan karena hasil pilihan rakyat melalui pemilu.
Kondisi tersebut bertemu ruas dengan buku kala ketiadaan mayoritas tunggal di DPR bersanding dengan ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menetapkan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. Sementara, pada sisi lainnya masing-masing partai politik pendukung Joko Widodo (Jokowi) kini yang hampir seluruhnya berkeinginan mencalonkan ketua umumnya sebagai cawapres pendamping Jokowi.
Konstalasi politik demikian itulah seakan meletakkan kembali pilihan cawapres kepada JK dianggap sebagai pilihan yang terbaik secara elektoral maupun secara koalisional dalam menghadapi pilpres dan menjalankan pemerintahan berikutnya. Di samping pertimbangan-pertimbangan personal yang dimiliki oleh JK itu sendiri.
Sayangnya, keinginan kembali mengusung JK jelas dan tegas terhalang oleh ketentuan konstitusi. Sebagaimana dinyatakan Pasal 7 UUD 1945 bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Susunan frasa yang termuat pada ketentuan Pasal 7 UUD 1945 tersebut sama sekali tak memiliki celah untuk ditafsirkan lebih atau kurang. Terlepas jabatan presiden dan wakil presiden tersebut telah diampu sebanyak dua periode, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Apalagi, secara historis perubahan Pasal 7 UUD 1945 pada amendemen pertama memang bertujuan untuk memberikan batasan-batasan yang tak dapat dibatasi pada masa Orde Baru sebagai bentuk penguatan terhadap sistem demokrasi dan sistem presidensial di Indonesia. Otoritarian Soeharto dapat bertahan selama 32 tahun karena UUD 1945 sebelum perubahan tidak membatasi berapa kali presiden dan wakil presiden dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama.
Pembantu Presiden
Adapun terminologi tentang pembantu presiden yang diatur dalam UUD 1945 memang terbagi menjadi dua, yaitu wakil presiden dan menteri-menteri negara. Perihal wakil presiden tersebut diatur pada Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Sementara itu perihal menteri-menteri negara diatur pada Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Sekalipun sama-sama pembantu presiden, posisi wakil presiden tidak sama dengan menteri-menteri negara. Dalam kekuasaan pemerintahan negara, posisi wakil presiden jadi bagian yang melekat dengan kewajiban konstitusional yang diemban presiden. Dengan penegasan konstitusi itu, dalam menjalankan pemerintahan posisi konstitusional wakil presiden jelas berbeda dan lebih tinggi dibandingkan dengan menteri-menteri negara (Saldi Isra, 2016).
Setidaknya hal tersebut dapat dilacak dari bagaimana tata cara pengisian jabatan keduannya, masa jabatan dan kewenangan yang dimiliki oleh keduanya. Terkait dengan pengisian jabatan wakil presiden diatur dalam Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Sementara itu, Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan: menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Secara legitimasi keberadaan wakil presiden jelas lebih kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat (by elect) dibandingkan oleh menteri-menteri negara yang diangkat berdasarkan hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden (by select). Sebagai konsekuensi dari model pengisian tersebut, model pemberhentian keduannya pun memiliki syarat dan tata cara yang berbeda. Sebagaimana dapat dilihat dan diperbandingkan antara Pasal 7A dan 7B UUD 1945 terkait dengan pemberhentian presiden dan wakil presiden serta Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan pemberhentian menteri-menteri negara.
Selain itu keberadaan wakil presiden dinyatakan secara tegas dalam konstitusi masa jabatannya serta berapa kali dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama (fix term) sebagaimana diatur pada Pasal 7 UUD 1945. Sementara, untuk jabatan menteri-menteri negara UUD 1945 tidak mengatur tentang pembatasan masa jabatan serta pembatasan berapa kali dapat diangkat untuk menjadi menteri.
Dalam hal kewenangan, sebagaimana juga telah disebutkan sebelumnya, kewenangan wakil presiden melekat secara konstitusional dengan kewenangan menjalankan pemerintahan negara yang dinyatakan dalam konstitusi sebagai kewenangan presiden. Sementara, menteri-menteri telah dibatasi oleh konstitusi hanya untuk urusan-urusan tertentu atau sifatnya terbatas. Sebagaimana dinyatakan Pasal 17 Ayat (3) UUD 1945 bahwa setiap menteri membidangi urusan tertentu pemerintahan negara.
Melihat ketentuan yang ada dalam UUD 1945, maka dapat disimpulkan peluang JK untuk dapat kembali tampil sebagai cawapres pada pilpres nanti hampir tidak ada. Kecuali MK melakukan eksperimentasi hukum terhadap hal ini dengan melakukan perubahan konstitusi melalui jalan informal. Tanpa bermaksud menghalang-halangi hak konstitusional pihak yang merasa terhalang atau kehilangan hak konstitusionalnya, ada baiknya kehadiran JK atas inisiatifnya sendiri sebagai pihak terkait ditujukan untuk memberikan rasionalitas bernegara dan berkonstitusi yang baik dari seorang negarawan.
Sebagai orang yang telah kenyang dengan asam garam politik di Indonesia, JK tentu dan telah semestinya semakin matang dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan. Serta, mengetahui kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang harus diutamakan daripada kepentingan pribadi atau kelompok demi dan hanya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Dan, kita yakin JK tak ingin menurunkan kelasnya dengan menjadi politisi yang tampak selalu haus akan kekuasaan.
M Nurul Fajri peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini