Artis masuk ke dunia politik sekarang ini seperti suatu keniscayaan. Dengan mudah mereka bisa berpindah haluan ke dunia politik, apakah menjadi caleg maupun menjadi cagub, cabup, dan sejumlah posisi publik mentereng. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa suara terbanyak menjadi dasar penetapan anggota legislatif, parpol berlomba-lomba mengandalkan popularitas dari calon yang diusung untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Salah satu usaha yang dilakukan itu mencalonkan caleg dari kalangan artis.
Usaha parpol meraih suara sebanyak-banyaknya juga konsekuensi penerapan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen. Menurut UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, parpol bisa berhasil ke parlemen jika meraih suara nasional lebih dari 4 persen. Kondisi ini memaksa parpol mencari jalan pintas demi meraih suara di atas 4 persen. Cara cepat meraih suara banyak itu di antaranya merekrut artis populer, untuk menjadi bakal caleg DPR.
Sejumlah parpol yang mendaftarkan artis menjadi caleg di antaranya PDIP mendaftarkan Krisdayanti, Ian Kasela, Angel Karamoy, Jeffrey Woworuntu, Kirana Larasati, dan Harvey Malaiholo. Partai NasDem juga tidak tinggal diam. Mereka mendaftarkan Nafa Urbach, Olla Ramlan, Manohara Pinot, Wanda Hamidah, Tessa Kaunang, Syahrul Gunawan, Farhan, Jonathan Frizzy, dan beberapa artis lain. NasDem juga mengusung atlet tinju ternama Chris John. PKB tidak kalah dengan parpol lain dengan ikut mendaftarkan Farhat Abbas, Tommy Kurniawan, dan Sundari Sukoco.
Ya, semua itu tidak ada yang salah secara konstitusional karena setiap warga negara berhak untuk ikut terlibat dalam kegiatan politik sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Artis pun demikian, mereka tetap bagian dari warga negara yang mendapatkan jaminan UU. Sehingga tidak ada yang dapat melarang seorang artis untuk ikut terlibat dalam dunia politik. Namun, yang menjadi persoalan sebetulnya mereka layak atau tidak menjadi wakil rakyat?
Dramatisme
Fenomena kader karbitan baik dalam pilkada, pileg, dan pilpres sebetulnya lonceng kematian pendidikan politik dalam ruang demokrasi. Bagaimana tidak, tanpa melalui tahapan yang panjang tiba-tiba seseorang yang mempunyai popularitas menjadi aktor yang berlaga dalam kontestasi demokrasi. Ada anggapan bahwa mengapa banyak artis yang dijadikan caleg oleh parpol tidak lain hanya menjadi alat vote gatter (pengumpul suara) melalui kepopuleran mereka, bukan aksi kinerjanya.
Kebijakan sebagian partai politik yang menetapkan calon legislatif dari kalangan artis, banyak diyakini sebagai upaya memanfaatkan popularitas yang bersangkutan untuk mendongkrak perolehan suara partai tersebut. Mengapa parpol tertarik mengambil artis menjadi caleg? Saya tertarik menggunakan istilah dramaturgi. Konsep ini mulai muncul pada 1945 oleh Kenneth Duva Burke, seorang teoritisi literatur Amerika dan filosof. Ia memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pertunjukkan simbolik kata dan kehidupan sosial.
Dramatisme bertujuan menjelasan secara rasional dan ilmiah guna mengetahui motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002). Dramatisme memperlihatkan bahwa bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa "hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama".
Erving Goffman, seorang sosiolog interaksionis mendalami kajian dramatisme tersebut, dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial, The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam karyanya ini, Goffman mengenalkan konsep dramaturgi. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil, dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.
Maka, pilihan parpol menggunakan tangan panjang artis untuk meraup suara banyak didasari bahwa artis sudah mengenal cara untuk menarik perhatian massa. Sangat wajar jika parpol menggunakan artis sebagai alat legitimasi pendulang suara yang ampuh dan praktis. Apalagi mereka sudah terbiasa berakting di depan publik saat memerankan tokoh baik melalui film maupun karya lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dalam drama, seorang aktor drama kehidupan, dalam hal ini caleg artis, juga harus mempersiapkan matang segala sarana-prasana pendukung "pertunjukan" pileg saat mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog), dan tindakan non-verbal lain. Hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi, dan memuluskan jalan mencapai tujuan yaitu meraih kursi di parlemen.
Menurut Goffman, perilaku sadar di atas dikenal dengan istilah "impression management". Goffman menjelaskan bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita), dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Jika memakai teori ini, maka saat di panggung kehidupan, mereka --dalam hal ini artis caleg-- dituntut untuk memainkan peran sehebat-hebatnya guna meraih simpati penonton --dalam hal ini tentu saja masyarakat pemilih.
Sedangkan back stage adalah keadaan di mana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga, kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Menurut Goffman, identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.
Konsep Erving Goffman ini sejatinya hampir sama dengan konsep "diri" yang dikemukakan oleh Herbert Mead. Jika Mead menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, maka menurut Goffman individu tidak sekadar mengambil peran orang lain, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut. Namun, kontras dengan konsep diri dari Mead, yang stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat dalam kurun waktu jangka panjang, konsep diri dari Goffman jelas bersifat jangka pendek. Mereka dituntut bermain peran karena selalu tertuntut oleh peran-peran sosial yang berlainan, yang interaksinya dengan masyarakat --sebagai pemilih-- dalam episode-episode pendek, dalam hal ini pada saat kontestasi demokrasi berlangsung.
Secara teoretis, identitas berhubungan dengan interaksi dan identifikasi (George Ritzer, 2005). Melalui interaksi, maka terhubung komunikasi antara dua orang atau lebih. Dengan identifikasi posisi individu dalam interaksi, dapat dikenali perannya dan lokasinya secara sosial. Maka, apa yang dilakukan parpol melalui caleg artis ini harus dipahami sebagai upaya untuk membuat identitas diri bahwa parpol dekat dengan caleg artis lewat peran-peran yang sudah dikenal masyarakat.
Menurut Manuel Castells (2010) dalam The Power of Identity, identitas merupakan sumber makna diri yang muncul dan diberikan oleh seorang individu terhadap dirinya sendiri, atau dari sekelompok orang terhadap kelompok mereka sendiri yang dibangun melalui proses individuasi. Sesuatu bisa disebut identitas jika ia diinternalisasi oleh masyarakat di luar dirinya. Maka, rasional sekali jika parpol memanfaatkan "jasa" artis sebagai caleg guna membangun identitas kedekatan dengan publik pemilih.
Jadi, kehadiran artis di dunia politik menurut saya memang menarik untuk dicermati. Artis bakal mati-matian mempertontonkan adegan-adegan drama kehidupan yang menguras air mata guna mendapatkan simpati untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam Pileg 2019 maupun agenda politik lainnya. Lebih-lebih masyarakat Indonesia khususnya ibu-ibu dikenal sebagai penikmat drama dan telenovela yang mudah tergoda dengan tampilan dibandingkan isinya. Mari kita tonton saja drama pencalegan artis menjadi politisi maupun jabatan publik lainnya.
Tujuan Jangka Pendek
Di sisi lain, melonjaknya jumlah artis yang maju menjadi caleg di berbagai partai politik menunjukkan fenomena kegagalan kaderisasi dalam parpol. Padahal keberadaan parpol salah satunya mendidik kader ideologis dan militan dalam jangka panjang menjadi pemimpin bangsa yang memahami perjuangan politik. Hingga saat ini hampir seluruh parpol berebutan menggaet artis sebagai caleg. Tujuannya jangka pendek tidak lain untuk menggoda dan menarik simpati masyarakat pemilih.
Kemunculan para artis ini menjadi tamparan keras bagi parpol di Indonesia untuk lebih serius menata pengkaderan kepemimpinan. Rekrutmen instan para artis ini jelas dan nyata membunuh proses pengkaderan parpol. Parpol tidak lebih dari makelar politik yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan limpahan suara pemilih guna mendapatkan kursi. Ujung-ujungnya bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Yang lebih ngeri lagi, ada kecurigaan mengenai kepindahan kader dari kalangan artis ke parpol tertentu disertai dengan bayaran transfer sebagaimana terjadi di dunia sepak bola. Demi uang, disinyalir artis mau berpindah ke parpol yang lebih menguntungkan dirinya. Jika ini benar, maka demokrasi sebagai sarana menyejahterakan rakyat hanya menjadi utopia semata. Alih-alih meningkatkan kualitas caleg guna menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni, parpol sibuk mencari cara untuk mendapatkan simpati publik dengan secara instan mengambil artis sebagai caleg.
Apakah artis yang menjadi caleg berkualitas? Jawabannya dikembalikan kepada masyarakat pemilih. Apakah artis yang mendaftarkan diri sebagai wakil rakyat bisa diterima atau tidak, tentu dikembalikan lagi kepada publik. Wargalah yang menilai karena mempunyai hak suara. Esensi demokrasi, suara rakyatlah yang menentukan hitam-putihnya perjalanan wakilnya di parlemen. Jadi, kalau artis nyaleg ya sah-sah saja. Jika mereka terpilih pun ya tidak ada yang salah, karena masyarakat sudah menentukan sikap di bilik suara.
Abdul Azis Muslim alumnus Pascasarjana IAIN Kudus