Perjalanan haji di masa lalu tak semudah sekarang. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) mencatat kisahnya pergi haji pada 1927. Serangkaian rintangan kecil melatari perjalanan Hamka yang kala itu baru berusia 19 tahun.
James R. Rush menuliskan dalam Adi Cerita Hamka, pada 1925 ia mengalami serangkaian rintangan. Pernikahan yang diatur keluarganya gagal dan ia tak diterima menjadi guru sekolah dasar di desa. Ayahnya-pun menganggap bacaan Hamka dan pidatonya percuma.
Kegagalan inilah yang membuat Hamka pergi ke tanah suci. Perjalanannya dari pedalaman Sumatera tak mudah. Ia harus jalan Kelok 44, dari Maninjau ke Padang Panjang, lalu melanjutkan ke Bukit Tinggi dan Padang. Sesampai di Medan, ia baru berlayar ke tanah suci menggunakan Kapal Karimata.
"Dia membeli tiket, mengirim telegram ke ayahnya, dan pada awal Februari 1927 menaiki kapal Karimata. Dia berangkat ke Mekah," tulis Rush.
Sesampai di tanah suci, musim haji belum datang. Hamka harus berhadapan dengan syekh (pembimbing haji) yang culas. Syekh itu menjanjikan kelompoknya untuk bertemu Raja Ibnu Saud dengan imbalan uang. Namun setelah ditunggu terus-menerus pertemuan itu tak terjadi.
Menunggu masuknya musim haji, Hamka mengisi waktu mencari tambahan uang dengan mengajar kelas haji yang digelar Muhammadiyah dan Syarekat Islam. Ia kerap mendapat 'salam tempel' dari murid-muridnya.
Untuk mengganti kocek yang terkuras, Hamka-pun bekerja di percetakan guru ayahnya, Achmad Chatib, hingga masa haji datang.
Rintangan tak berakhir, rombongan jamaah haji yang melintasi padang Arafah harus menghadapi ganasnya cuaca gurun. Hamka meringkuk di atas pelana unta sambil merintih kesakitan. Namun kalimat 'Labbaika Allohuma labbaik' terus digemakannya.
"Pikirannya melayang ke rumah, ke kerabat dan sahabat, dan dia teringat rumah tempat dia dilahirkan, bertatap ijuk bertatah timah,"
Hamka pingsan di tengah perjalanan. Teman-teman yang menaikkannya ke unta menyadarkannya. Ritual haji-pun kemudian ia laksanakan pada hari berikutnya dari melempar jumrah di Mina, mencukur rambut, tawaf di Ka'bah, sholat di makam Ibrahim, hingga melintas tuju kali di antara bukit Shafa dan Marwah.
Ketika musim haji berakhir, Hamka awalnya enggan mengikuti teman-temannya pulang. Tapi Agus Salim menyarankannya untuk mengembangkan ilmu ke tanah air.
Pada masa Orde Baru pengalaman naik haji ini dipakainya untuk memperbaiki perjalanan haji dari tanah air. Ia bersama Menteri Agama kala itu, Mukti Ali, mengemban misi resmi ke Jeddah dan meminta perbaikan hak untuk jamaah haji Indonesia. Misi ini berhasil dilaksanakan dari pemilihan katering, syekh, dan tempat menginap yang baik.
(ayo/jat)