Tak cuma kebiasaan bermepet-mepet soal waktu. Mekanisme perekrutan para caleg pun sepertinya tak banyak berubah dari waktu ke waktu. Sejauh yang mengemuka di media massa, kebanyakan parpol mengambil jalan pintas dalam merekrut caleg mereka. Apa itu? Memasukkan nama sejumlah pesohor (artis atau seniman, hingga atlet).
Sepertinya tak ada partai politik yang dalam susunan calon anggota legislatif yang didaftarkan ke KPU tanpa diwarnai nama yang sebelumnya dikenal malang melintang di dunia kesenian atau olah raga. Hal ini bukan fenomena baru dalam dunia politik kita, dan sudah berlangsung sejak Orde Baru atau mungkin juga Orde Lama.
Dalam pemilihan anggota dewan 2014-2019, misalnya, tercatat 39 pesohor ikut bertarung. Dari jumlah tersebut, 15 orang berhasil melenggang ke Senayan dan tiga menjadi senator (anggota Dewan Perwakilan Daerah).
Untuk Pemilu 2019-2004, Partai NasDem tergolong yang terbanyak mencantumkan nama pesohor dari penyanyi, atlet, hingga mantan model/peragawati. Total ada belasan nama. Partai besutan Surya Paloh yang dalam dua tahun ini mengumandangkan tagline 'politik tanpa mahar' itu juga meraih limpahan politisi yang hijrah dari partai lain dengan berbagai alasan.
Ada yang mengaku 'hijrah' karena merasa sudah tak cocok lagi dengan visi partai sebelumnya, konflik internal, gaya kepemimpinan yang otoriter, hingga yang merasa dicuekin. Di luar itu, ada juga selentingan bahwa kepindahan mereka tak lepas dari iming-iming materi di dalamnya.
Sepertinya cuma Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang melakukan rekrutmen secara terbuka, lalu menguji para kandidat dengan melibatkan sejumlah panelis dari luar. Mereka yang datang mendaftar tak cuma diperiksa persyaratan administrasi, tapi juga kemampuan akademis dan integritasnya.
Vokalis band Nidji, Giring Ganesha misalnya, menjalani seleksi di hadapan panelis pada 5 November 2017. Saat memutuskan akan berkiprah di dunia politik, dia mengaku tak cuma membekali dirinya dengan pendidikan selama di kampus, tapi juga mengambil banyak kelas politik, short course, hingga kelas public speaking.
Ketika berhadapan dengan panelis (Mahfud Md, Mari Elka Pangestu, Hamdi Muluk, Bibit R Samad, dan lainnya), dia sudah tahu apa yang akan diperjuangkannya; pendidikan. Giring antara lain memaparkan persoalan pendidikan budi pekerti, budaya, dan nasionalisme. Andai kelak terpilih menjadi anggota DPR, penyanyi berambut keriting itu ingin mengubah Ujian Nasional menjadi ujian bakat.
Giring merujuk pengalaman pribadi dan kakaknya, selain membandingkan sistem pendidikan di luar negeri. Ia mencontohkan saat kuliah sempat diminta mengambil jurusan Hubungan Internasional. Tapi, ibunya juga tak melarang menggeluti musik. "Saya dan kakak adalah produk bakat. Alangkah bagusnya jika semua anak Indonesia hidup di jalan bakat," ujarnya.
Tapi, berapa banyak pribadi yang punya kesadaran seperti Giring? Di pihak lain, parpol pun sepertinya enggan melakukan kaderisasi secara telaten karena memang tak murah. Jangankan melakukan kaderisasi, sekadar mematuhi Peraturan KPU yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk dicalonkan saja, mereka banyak yang merutukinya.
Akhirnya, jalan pintaslah yang banyak ditempuh. Asal popular, punya koneksi dan duit, jadilah sebagai caleg. Soal kompetensi, apalagi integritas biarlah itu dipikir kemudian. Padahal mengajukan caleg karena semata-mata pertimbangan popularitas atau punya uang sudah terbukti justru merusak negeri ini.
Setelah duduk di kursi empuk parlemen, mereka lupa akan jati diri sebagai wakil rakyat, bahkan tak jarang malah menjadi pengkhianat rakyat. Caleg berintegritas merupakan satu-satunya jawaban agar parlemen yang akan datang berkualitas dan sebenar-benarnya mewakili rakyat.
Sudrajat wartawan detikcom; tulisan ini pandangan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini