Hal ini disebabkan publik yang pro-Pancasila mengalami penurunan 10% selama 13 tahun. Sedangkan publik yang pro-NKRI bersyariah mengalami peningkatan sebesar 9%.
Survei ini dilaksanakan di 34 Provinsi pada 28 Juni-5 Juli 2018. Jumlah sampel sebanyak 1.200 orang dengan metode multistage random sampling dan toleransi kesalahan (margin of error) survei diperkirakan Β±2,9%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam pertanyaan, apakah calon presiden dan cawapres perlu atau tidak mewacanakan isu kebangsaan dan kebersamaan dalam program dan sosialisasinya? Responden menjawab perlu 75,3%, dan tidak perlu 16,6% dan tidak tahu 8,1%," ucap peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, memaparkan survei di kantor LSI Denny JA, Rawamangun, Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Ardian juga mengatakan masyarakat kurang memberi perhatian terhadap isu kebangsaan dan kebersamaan mencapai 53,7%. Sedangkan masyarakat yang memberikan cukup perhatian terhadap isu tersebut mencapai 37,8% dan tidak menjawab 8,5%.
Selain itu, mayoritas publik juga setuju adanya forum bersama mengenai soal isu tersebut.
"Responden setuju hadirnya forum bersama yang powerfull soal isu kebangsaan dan kebersamaan ada 86,7% dan tidak setuju 9,8%," kata Ardian.
Adrian juga menjelaskan publik ingin capres-cawapres mengurangi wacana yang bisa memecah bangsa. Sehingga publik merasa khawatir terjadinya pembelahan masyarakat atas isu agama seperti Pilkada DKI 2017 akan terulang dalam Pilpres 2019.
"Angka khawatir mencapai 64,2% dan tidak khawatir mencapai 15,8%. Masyarakat masih banyak yang khawatir terjadinya politik identitas pada Pilkada DKI terulang kembali pada Pilpres 2019. Ini juga kalau kita melihat latar belakangannya dari kita melakukan survei pada 2005 hingga 2018 ada penurunan terhadap pro-Pancasila," jelas Ardian. (fai/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini