"Kementerian meminta komitmen para pemimpin daerah serta peran para tokoh masyarakat, agama dan masyarakat pada umumnya untuk turut mencegah perkawinan anak terjadi," kata Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu dalam keterangan kepada detikcom, Minggu (15/7/2018).
Pribudiarta menjelaskan peran kepala daerah ini penting untuk memberi penjelaskan agar masyarakat sadar dan paham risiko perkawinan anak. Menurutnya, berbagai risiko akan dihadap seorang anak bila terpaksa menikah mulai dari putus sekolah hingga kematian akibat mengandung terlalu muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian PPPA dikatakakan Pribudiarta, terus mendorong revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk menaikan batas minimal usia perkawinan. Hal itu untuk mencegah adanya perkawinan anak.
"Kemen PPPA terus mendorong revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia perkawinan harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak," tuturnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) dijelaskan, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Namun, di pasal ini ada dispensasi yang dapat dimintakan ke pengadilan atau penjabat lain oleh pihak orang tua, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2).
Soal pernikahan anak, terbaru ada peristiwa bocah usia 14 dan 15 tahun menikah siri di Kalimantan Selatan. Pernikahan dilakukan di kediaman nenek mempelai pria, di Kabupaten Tapin pada Kamis, 12 Juli 2018 sekira jam 20.30 Wita. (ibh/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini