Penunjukan Berat Albayrak, yang sebelumnya menjabat menteri energi pada 2015, mendapat tanggapan dari pasar keuangan.
Lira, mata uang Turki, merosot nilainya sebanyak 2% setelah Erdogan mengumumkan penunjukan Albayrak.
- Erdogan menang lagi di pemilihan presiden, apa maknanya bagi Turki?
- Buntut kudeta yang gagal, Turki kembali pecat 18.000 tentara, polisi, guru dan PNS
- Erdogan menang, pemerintah Iran dan Israel senang?
Dalam pidatonya seusai dilantik di parlemen pada Senin (9/7), Erdogan mengatakan kepada para tamu di istana kepresidenan di Ankara bahwa Turki "menciptakan awal yang baru".
"Kami meninggalkan sistem yang di masa lalu membuat negara kami harus membayar harga mahal dalam wujud kekacauan politik dan ekonomi," ujarnya.
Kemenangan Erdogan dalam pemilu bulan lalu bukan sekedar melanjutkan jabatan presiden selama lima tahun, tapi juga menandai transisi Turki dari sistem parlementer ke sistem presidensial.
Mulai bulan ini Erdogan berwenang menunjuk menteri dan wakil presiden. Dia juga berhak campur tangan dalam sistem hukum.
Selain menunjuk menantunya untuk menduduki posisi menteri keuangan, Erdogan memilih panglima militer Jenderal Hulusi Akar sebagai menteri pertahanan.
Adapun Mevlut Cavusoglu dipertahankan sebagai menteri luar negeri.
Kalangan oposisi dan pengkritik Erdogan menilai kewenangan baru yang dimiliki pria tersebut akan menghancurkan demokrasi di Turki.

Pada Minggu (8/7), pemerintah Turki telah memecat lebih dari 18.000 anggota tentara, polisi, akademisi, serta pegawai negeri.
Keterangan resmi pemerintah Turki menyebutkan 18.632 orang telah dipecat, termasuk 8.998 anggota polisi serta 6.152 personil militer, seperti dilaporkan kantor berita AFP.
Dan menurut kantor berita Reuters, ada 199 akademisi yang dipecat dari berbagai universitas di seluruh negara itu.
Langkah pembersihan ini merupakan yang terbaru setelah upaya kudeta militer yang gagal dua tahun silam.
Mark Lowen, koresponden BBC di Turki
Selama 95 tahun, Turki merupakan republik parlementer dan Majelis Agung Nasional merupakan pusat kekuatan politiknya.
Tidak lagi.
Sejak Senin (9/7), Turki berubah menjadi republik presidensial di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan.
Berkat kemenangannya dalam pemilu, Erdogan kini menjadi kepala eksekutif yang mengendalikan militer, badan intelijen, mampu mengeluarkan dekrit, serta memilih hakim-hakim senior.
Bagi para pendukungnya, sistem politik baru ini lebih kuat. Sedangkan bagi pengkritiknya, kekuasaan Erdogan terlampau besar dan menyebabkan demokrasi di Turki mati.
Erdogan kini merupakan pemimpin terkuat Turki sejak era Mustafa Kemal Ataturk, bapak pendiri negara Turki yang sekuler dan menghendaki Turki menjadi bagian dari kekuatan Barat.
Akan tetapi, berbeda dengan Ataturk, Presiden Erdogan menempatkan agama pada jantung Turki dan justru menjauhkan Turki dari Barat.
Hanya segelintir pemimpin Barat yang menghadiri pelantikannya seperti dari Hungaria dan Bulgaria. Sebagian besar dari Afrika dan Timur Tengah, yang menjadi pertanda arah politik luar negerinya.
Erdogan adalah pencipta kutub dan pandangan publik terhadap dirinya terpecah belah. Bagi sebagian kalangan, pelantikan dirinya adalah perlambang Turki yang baru. Sementara lainnya menilai republik yang didirikan Ataturk telah dilucuti.
(ita/ita)