Pilkada langsung harus diakui memiliki dua sisi yang kontradiktif. Pilkada selalu memberi harapan sekaligus menghadirkan kekhawatiran. Dua dasawarsa sejak Reformasi bergulir, bangsa ini menikmati sistem demokrasi terbuka yang dalam banyak hal mengarah pada sistem demokrasi liberal.
Di satu sisi, Reformasi membuka kemungkinan terbukanya ruang publik dan kebebasan pers. Namun, di sisi lain Reformasi juga telah membidani lahirnya sejumlah persoalan akut, mulai dari korupsi di level pejabat daerah sampai menjamurnya politik dinasti. Pilkada serentak tahun ini pun tidak lepas dari dua isu klasik tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pilkada serentak terbesar yang pernah diselenggarakan, ditambah waktu pelaksanaan yang mendekati pilpres, pilkada tahun ini layak dijadikan sebagai semacam momentum untuk mengevaluasi sejauh mana demokratisasi kita berjalan.
Prestasi dan Ironi
Hari-hari menjelang penyelenggaraan pilkada serentak, kita dihadapkan pada sejumlah kekhawatiran. Tensi politik yang panas menjelang Pilpres 2019 ditambah dengan sentimen identitas yang dieksploitasi habis-habisan di Pilkada DKI 2017 melahirkan kecemasan bahwa pilkada serentak akan diwarnai gesekan sosial serupa.
Kita patut bersyukur, kekhawatiran itu tidak mewujud menjadi kenyataan. Bukan hanya mampu meredam potensi konflik, pilkada serentak tahun ini juga nyaris sepi dari isu politik identitas. Meski masih ada upaya untuk memobilisasi massa melalui sentimen identitas, namun pergerakannya cenderung tidak semasif pada Pilkada DKI lalu.
Di sisi lain, pilkada serentak tahun ini juga menjadi momen terputusnya dinasti politik di sejumlah daerah. Pada pilkada serentak tahun ini, setidaknya terdapat 11 pasangan calon kepala daerah yang terkait dengan dinasti politik. Delapan pasangan calon berlaga di tingkat provinsi, dan sisanya memperebutkan kursi bupati serta walikota. Menariknya, hasil hitung cepat Pilkada 2018 memperlihatkan enam pasangan calon gagal meneruskan dinasti politik.
Hasil hitung cepat di Pilgub Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara menunjukkan paslon dari dinasti politik gagal mendominasi perolehan suara. Meski tidak semua paslon terkait dinasti politik gagal, fenomena ini menjadi semacam sinyalemen membaiknya kesadaran publik akan praktik demokrasi yang sehat.
Meningkatnya kesadaran publik atas demokrasi juga tampak dalam tingginya angka partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan angka partisipasi pemilih pada pilkada serentak tahun ini mencapai 70, 01 persen. Angka partisipasi pemilih itu memang lebih rendah dari target KPU 73 persen, namun tetap saja capaian tersebut patut diapresiasi.
Selain sederet prestasi tersebut, pilkada serentak tahun ini juga meninggalkan sejumlah ironi. Salah satu yang paling memprihatinkan ialah kemenangan dua pasangan calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi. Pilkada serentak tahun ini diramaikan oleh sembilan calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi. Dari sembilan calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi tersebut, dua di antaranya berhasil keluar sebagai pemenang pilkada. Sementara sisanya, meski tidak berhasil menang, namun raihan suaranya tetap terbilang signifikan.
Kenyataan ini tentu patut menjadi semacam bahan untuk mengevaluasi sejauh mana pendidikan politik menyentuh isu pemberantasan korupsi. Kemenangan dua calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi tidak lain merupakan tamparan keras bagi proses demokratisasi dan perjuangan pemberantasan korupsi. Apalagi ditambah kenyataan bahwa sesuai UU, calon kepala daerah terpilih tetap akan dilantik meski berstatus tersangka korupsi.
Masyarakat Versus Parpol
Sebagai mekanisme rekrutmen pejabat publik, pilkada tentu bernilai strategis bagi pembangunan daerah. Terlebih dalam konteks desentralisasi sebagaimana diterapkan di Indonesia pasca-Reformasi. Maju mundurnya satu daerah, salah satunya ditentukan oleh pemimpinnya.
Sayangnya, proses demokrasi itu kerap dicederai oleh praktik politik dinasti, politik uang, hingga fenomena calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi. Kita tentunya patut memberikan apresiasi pada masyarakat yang mampu mematahkan dominasi politik dinasti di daerahnya. Juga pada masyarakat yang menolak memilih calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi. Bangkitnya kesadaran politik ini tentu menjanjikan bagi perkembangan demokrasi Indonesia ke depan.
Sebaliknya, kita patut mengutuk keras jaringan koalisi partai politik yang masih mengusung calon kepala daerah terkait dinasti politik dan calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi. Langkah partai yang demikian itu tentu bertolak belakang dengan peran yang idealnya mampu dimainkan oleh parpol.
Dalam pilkada, parpol idealnya mampu memainkan sekurangnya tiga peran. Pertama, menjaring calon-calon kepala daerah terbaik (political reqruitment). Kedua, melaksanakan pendidikan politik pada publik agar berpartisipasi aktif dalam demokrasi lokal. Ketiga, menjadi mesin politik yang efektif bagi calon-calon yang diusung.
Pada kenyataannya, tiga peran itu kerap dialpakan oleh parpol. Bahkan, tidak jarang parpol hanya berperan sebagai penjual tiket pencalonan kepada paslon yang memberikan mahar politik paling sesuai. Maka, parpol-parpol yang jagoannya memenangi pilkada sepatutnya tidak lantas menepuk dada dan beranggapan bahwa kemenangan itu akan linier dengan perolehan suara pada pemilu nasional tahun 2019 nanti.
Pilkada 2018 ini idealnya menjadi momentum bagi parpol untuk berbenah. Langkah partai dalam mendukung calon kepala daerah terkait politik dinasti atau berstatus tersangka korupsi tentu diingat sebagai semacam memori kolektif publik. Hal itu tentu merugikan bagi prospek elektoral parpol itu sendiri. Jika tidak berbenah, boleh jadi fenomena deparpolisasi akan kian menguat di tahun-tahun mendatang.
Nurrochman mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini