Melalui website KPU infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018 diketahui bahwa ada 16 daerah yang punya satu calon pasangan kepala daerah pada pilkada serentak kali ini. Yakni, Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumatra Utara), Kota Prabumulih (Sumatra Selatan), Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Tangerang (Banten) dan Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan), Kabupaten Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara), Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan), Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Memberamo Tengah (Papua), Kabupaten Puncak (Papua), Kabupaten Jayawijaya (Papua), dan Kota Makassar (Sulawesi Selatan).
Sementara, pada pilkada serentak Februari 2017 terdapat sembilan daerah yang dihadapkan dengan calon tunggal. Yakni, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Pati, Kota Jayapura, Kabupaten Tambrauw, Kota Sorong, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Landak dan Kabupaten Buton. Meski terjadi peningkatan jumlah calon tunggal di Pilkada 2018 ini, kira-kira apakah fenomena ini akan menjadi ancaman baru bagi jalannya demokrasi kita? Tentu, tidak mudah menjawab soal kemunculan calon tunggal tersebut. Namun, setidaknya ada dua argumentasi umum yang sering publik dengar.
Pertama, karena tidak adanya calon lain yang mampu menandingi pamor atau elektabilitas calon --bagi petahana kondisi ini sangat menguntungkan. Kedua, rumitnya alur dan pertimbangan politis partai politik menjadikannya lebih memilih jalur aman --berkoalisi dalam satu calon.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas gugatan Effendi Gazali ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK memutuskan bahwa pilkada tetap harus berjalan sebagaimana adanya meskipun jumlah dari pasangan calon cuma satu demi memenuhi hak konstitusional warga negara dan memenuhi hak asasi manusia.
Apa yang menjadi problem saat ini ialah fenomena lawan kotak kosong semakin menguat, dan menjadi tanda tanya besar mengapa hal tersebut terjadi. Sebab, dalam suatu sistem demokrasi, di mana kesempatan tersebut terbuka sedemikian lebarnya tapi justru yang terjadi adalah menyusutnya calon kepala daerah.
Dalam kata "demokrasi" sejatinya dibayang-bayangi oleh kata "rakyat". Kedaulatan rakyat menjadi mimpi indah bagi suatu bangsa yang baru saja transisi dari kuasa otoritarian menuju suatu tatanan yang berkeadilan. Serta, menjadi petanda pula bagi lahirnya jalan konsolidasi rezim demokratis yang salah satu petandanya ialah pemilihan umum secara langsung. Namun, ketika fenomena calon tunggal melawan kotak kosong mengalami peningkatan dan ternyata pemilih kotak kosong pun tidak sedikit jumlahnya, sepertinya perlu kita merefleksikan kembali soal bagaimana kata "demokrasi" ini dimaknai.
Sudah saatnya partai politik berbenah diri. Banyaknya pencoblos kotak kosong seolah menjadi bahasa isyarat bahwa kehendak rakyat lebih menginginkan sosok pemimpin yang lebih aspiratif dan berpihak padanya. Atau, kotak kosong seolah mimpi yang menjadi nyata saat kebuntuan elektoral semakin tampak dampaknya.
Di sinilah perlunya evaluasi mendalam pada setiap partai politik. Partai politik harus betul-betul kembali mengevaluasi proses jalannya kaderisasi partai, dari ideologisasi bahkan sampai di tataran implementasi ideologi. Sehingga, yang terjadi bukan justru malah sebaliknya yakni serampangan menaruh calon; pokoknya asal terkenal di publik, punya elektabilitas tinggi dan tentu yang tunduk pada elit partai.
Kepemimpinan di setiap daerah tidak bisa dan bahkan tidak boleh dijalankan oleh mereka yang gagap terhadap falsafah demokrasi. Jika pemerintahan adalah alat untuk mensejahterakan rakyat, dan demokrasi membawa semangat ke arah kedaulatan rakyat, bagaimana mungkin suatu daerah dipimpin oleh pemimpin defisit akal sehat yang tentu lahir dari rahim partai politik?
Calon tunggal dan kotak kosong hanya satu dari sekian banyak tantangan membangun demokrasi, dan pemilihan kepala daerah hanyalah instrumen dalam menjalankan proses bernegara. Namun, yang menjadi tugas setiap warga negara ialah ada pada pasca pemilihan tersebut yakni mengkonsolidasikan kekuatan bersama untuk mengontrol jalannya sistem dan kebijakan yang ada, menjadi penekan atas pemenuhan hak asasi manusia, menjadi pengingat kala pemerintahan keluar dari khittah-nya.
Abdurrachman Sofyan peneliti demokrasi dan HAM Intrans Institute