Mantan politikus PDI, Eros Djarot, mengungkap anak-anak Sukarno butuh perjuangan panjang untuk masuk dunia politik selepas Orde Lama tumbang. Sebagai penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto tak menghendaki mereka masuk ke kancah politik.
"Kalau membandingkan antara anak Soeharto dengan Bung Karno, sepertinya tidak apple to apple, beda sekali. Anak Bung Karno mendapat tekanan rezim otoriter Orde Baru kala itu," ujarnya ketika berbincang dengan detikcom, Selasa (12/6/2018).
Tekanan yang dilakukan Orde Baru terhadap anak-anak Sukarno bukan hanya larangan masuk ke dunia politik. Anak-anak Sukarno juga dipersulit masuk ke perguruan tinggi.
Pada 29 Oktober 2008, detikcom pernah menulis pengakuan Dyah Mutiara Sukmawati Soekarno bahwa, saat berusia 15 tahun, ia telah mengalami teror Orde Baru di sekolah. Kala itu, sekitar 1967, kepala sekolah tempatnya belajar diancam oleh tentara.
Eros menyebutkan Sukmawati dan Guntur Soekarno Putra adalah dua anak Sukarno yang benar-benar diawasi oleh Soeharto agar tak masuk politik.
Kesempatan masuk politik melalui PDI justru jatuh pada Megawati Soekarnoputri dan Guruh Irianto Sukarno Putra. Buku Megawati Dalam Tangkapan Pers yang ditulis oleh Hasrullah menyebutkan kehadiran keduanya mendongkrak suara PDI pada Pemilu 1987 dan 1992.
Lingkup internal PDI sendiri mayoritas mendukung Megawati untuk menjadi ketua umum. Saat kongres luar biasa PDI pada 2-6 Desember 1993 di Surabaya, kabar campur tangan pemerintah untuk menggembosi pencalonan Megawati menjadi ketua umum sangat kencang. Tapi akhirnya Mega berhasil menjadi ketua umun periode 1993-1998.
Baca juga: Golkar Bersih dari Trah Soeharto |
Pengurus DPD menarik dukungan terhadap Megawati. Beberapa di antaranya menyebutkan ada campur tangan Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet. Eros Djarot pun menyebutkan Megawati kala itu menjadi figur terdepan dalam perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru. "Megawati saat itu menjadi simbol perlawanan," ucap Eros.
Perlawanan pendukung Megawati di PDI sendiri memuncak sehingga terjadi perpecahan internal ketika pemerintah lebih menghendaki Soerjadi memimpin PDI melalui kongres di Medan, 22 Juni 1996. Puncak perlawanan ini meletus dengan tragedi penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Militer dituding berada di balik penyerangan kantor yang dikuasai simpatisan Megawati tersebut.
Perjalanan berliku anak Sukarno ini tidak dialami anak-anak Soeharto. Tommy, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), dan Bambang Trihatmodjo sudah bergabung ke Golkar semasa Soeharto berkuasa. Pada 1992, mereka memasuki MPR. Tetapi, setelah lengsernya Soeharto, Golkar menarik mereka dari MPR.
Enam tahun memasuki era reformasi, Tutut mencoba bangkit dengan mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan menjadi peserta Pemilu 2004. Namun PKPB, yang menggelorakan mimpi-mimpi kemajuan era Soeharto, tak mendapat sambutan rakyat. Partai ini cuma meraih dua kursi di DPR.
Lima tahun kemudian, Tommy mencoba merebut kepemimpinan Partai Golkar dalam musyawarah luar nasional biasa (munaslub) di Riau pada 2009. Namun tak satu pun suara memilihnya. Pada tahun yang sama, tanpa banyak perhatian media, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) masuk ke pengurusan Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie.
Dalam Pemilu 2014, mantan istri Prabowo itu berhasil melenggang ke Senayan mewakili Yogyakarta. Tapi Senin lalu, dia mengumumkan hijrah dari Partai Golkar dan berhimpun ke Partai Berkarya besutan sang adik, Tommy. Apakah keputusan itu tepat? Buktinya akan terlihat tahun depan. (ayo/jat)