"Diduga HGB tersebut tanpa disertai bukti pembayaran BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan), sehingga indikasi kerugian negaranya adalah Rp 1,5 miliar. Perkara ini disidik oleh Polda Kepri sejak tahun 2016, dan KPK mulai melakukan supervisi sejak tahun 2017," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis (7/6/2018).
Menurut Febri, praperadilan itu diajukan oleh Bambang Supriadi, tersangka dalam kasus ini. Sidang dilangsungkan sejak pagi tadi di Pengadilan Negeri (PN) Batam. Saksi yang dihadirkan adalah ahli hukum acara pidana Dr Erdiyanto dari Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemohon yakni tersangka Bambang Supriadi dengan alasan di antaranya penyidikan tidak sah karena tidak memenuhi minimal dua alat bukti dan peristiwa tindak pidana yang disangkakan kepada pemohon bukan merupakan tindak pidana," ujar Febri.
Tuntutan tersebut dinilai ahli tidak sesuai dengan wewenang praperadilan. Menurut Erdiyanto, batas kewenangan dan kompetensi sidang praperadilan sesuai KUHAP hanya terkait formal prosedural penetapan tersangka yang merupakan upaya paksa penegakan hukum. Selain itu kewenangannya juga meliputi penyitaan dan penggeledahan, sesuai dengan putusan MK no 21/PUU-XII/2014.
"Penyidik dalam menetapkan tersangka harus memenuhi minimal 2 alat bukti untuk setiap unsur, tetapi hakim praperadilan hanya menilai apakah terhadap penetapan tersangka sudah terpenuhi syarat minimal alat bukti dan tidak boleh menilai apakah perbuatan tersangka adalah tindak pidana atau bukan, karena itu berarti sudah memasuki pokok perkara dan pemeriksaan pokok perkara bukan kompetensi hakim praperadilan," urai Febri.
KPK berharap dukungan dalam penanganan perkara ini bisa berjalan lancar dan segera tuntas. Jumat (8/6) besok, putusan praperadilan tersebut akan dibacakan.
"Kami harap hasil dari persidangan ini dapat bernilai positif pada penanganan perkara dan tidak sebaliknya," ujar Febri.
(nif/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini