KPK telah mengirimkan surat sebanyak 5 kali. Selain Jokowi, KPK juga mengirimkannya ke Ketua Panja RKUHP DPR, serta Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM). Surat tersebut dikirim pada 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017, dan 13 Februari 2018.
Baca juga: KPK: Hukuman Koruptor di RKUHP Lebih Rendah dari UU Tipikor
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- KPK keberatan dan tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR untuk tetap mencantumkan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP dalam bentuk tindak pidana pokok (core crime). Pemberantasan korupsi yang bersifat premium remedium di era reformasi justru menjadi pembeda dari pemberantasan korupsi pada era sebelumnya. Ini dinilai akan membuat pemberantasan korupsi berjalan mundur.
Baca juga: KPK Soroti RKUHP: Korupsi Bukan Lagi Kejahatan yang Berbahaya?
- Dalam surat itu juga ditulis proyek kodifikasi melalui RUU KUHP berpotensi mengabaikan Tap MPR, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta UNCAC 2003 yang intinya memuat bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secara konsisten sesuai dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
- Selain itu, KPK sebagai lembaga independen bersifat constitutionally important, harus didukung delik korupsi bersifat khusus yang tidak semua harus diintegrasikan lewat kodifikasi ke dalam RUU KUHP. Karakter kekhususan ini disebut KPK untuk beradaptasi dalam merespons kejahatan khas dengan modus, struktur, dan jaringan yang semakin kompleks, cepat berubah, serta terus berkembang.
Baca juga: Alasan KPK Tolak RKUHP: Khawatir Hilang Kewenangan Usut Korupsi
- KPK juga memaparkan sudah ada 30 negara yang mengatur secara khusus pembentukan lembaga antikorupsi dalam konstitusi, contohnya Malaysia, Hongkong, Filipina, Brunei Darussalam, Timor Leste, Vietnam, Brasil, dan lain-lain.
- Dalam UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001, secara tegas dan jelas ada 13 jenis tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak bisa dikategorikan kedalam core crime jika diintegrasikan ke dalam RUU KUHP, antara lain:
- korupsi yang berkaitan dengan keuangan negara
- korupsi yang berkaitan dengan suap-menyuap
- korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan
- korupsi yang berkaitan dengan pemerasan
- korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang
- korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan barang
- gratifikasi
- merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
- tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
- bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
- saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
- orang yang memegang rahasia jabatan tidak memeberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
- saksi yang membuka identitas pelapor
- KPK mempertanyakan apakah korupsi sudah tidak dikategorikan sebagai kejahatan khusus, padahal tindakan, penyebab, dan dampaknya masih menjadi kejahatan luar biasa. UU tindak Pidana Korupsi juga lahir dari kedaruratan korupsi yang terjadi di Indonesia dan memiliki 10 karakteristik yang berbeda dibandingkan tindak pidana lainnya. Dalam penerapannya, KPK dapat menjerat seluruh pelaku tindak pidana korupsi.
Baca juga: KPK Tolak RUU KUHP, Menkum HAM: Tak Usah Suudzon
- Keinginan pemerintah dan DPR untuk melakukan kodifikasi terhadap delik di luar KUHP merujuk pada UU Hukum Pidana Belanda yang memuat tindak pidana korupsi di dalamnya. Ini disebut tidak relevan, sebab menurut KPK kondisi kasus korupsi di Belanda tidak semasif di Indonesia. Parameternya bisa dilihat dari hasil Corruption Perception Index (CPI, indeks persepsi korupsi) Belanda memiliki skor 87 sedangkan Indonesia 36 dari rentang 0-100, di mana 0 dipersepsikan sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.
- Kodifikasi tindak pidana khusus ke dalam KUHP disebut KPK akan sarat dengan kepentingan politik, ekonomi, dan bisnis. Ke depannya jika ada kejahatan bentuk baru, maka tidak dapat dijangkau norma hukum pidana dalam kodifikasi. Sebab tindak pidana tersebut sulit diamandemen/direvisi. Ini lalu disebut KPK bertentangan dengan politik hukum, perkembangan kondisi, serta kebutuhan bangsa dan negara. Padahal Indonesia masih dinilai darurat korupsi.
Baca juga: Ketua DPR soal Pasal Tipikor di RKUHP: Apa yang Dikhawatirkan?
- Dengan fakta-fakta tersebut, KPK lalu mempertanyakan apakah saat menyusun RUU KUHP pemerintah dan DPR banyak menggunakan bahan dari hasil kunjungan ke luar negeri dan telah melakukan kajian ilmiah terhadap dampak kodifikasi delik khusus ke dalam RUU KUHP. Sebab, jika tidak sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan hukum, tentu sangat berisiko dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah ke depannya.
- KPK berpandangan memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP merupakan langkah mundur pemerintah dan DPR, padahal kenyataanya Indonesia dinilai sedang dalam kondisi darurat korupsi oleh dunia internasional. Terakhir, KPK memohon agar rumusan Bab XXXIII tidak dimasukkan ke dalam RUU KUHP sehingga delik korupsi masih termuat dalam UU Tindak Pidana Korupsi. (nif/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini