"Kelihatannya begitu (sulit naik ke penyidikan)," kata Prasetyo di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jl. Taman Pejambon, Jakarta Pusat, Jumat (1/6/2018).
"Sempat kami konsinyering dengan komnas HAM di Bogor, hampir sepekan kami di sana. Kami bedah satu-satu Peristiwa '66, Petrus, penculikan, Talang Sari, Trisakti, semua mengatakan ya memang buktinya yang masih minim. Jaksa hanya menerima hasil penyelidikan," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penanganan perkara ini juga dikatakannya berbeda dari perkara tindak pidana biasa. Untuk pelanggaran HAM berat penyelidikannya pro yustisia dan dilaksanakan Komnas HAM. Sementara Jaksa Agung selanjutnya membedah apakah hasil penyelidikan tersebut memenuhi syarat naik ke penyidikan. Jika dinilai masih belum lengkap bukti-buktinya, lanjut Prasetyo, akan dikembalikan lagi.
Koordinasi hingga kini disebutnya masih dilakukan dengan Komnas HAM. Masing-masing pihak juga saling memahami realitas adanya kendala yuridis dalam proses penegakan hukum.
"Sekarang kalau kita paksakan proses hukum ya hasilnya bisa kita bayangkan. Jadi memang bolak-balik saya hitung ada yang sampai 10 kali sejak 2007 penyelidikan itu dilakukan, hasilnya sama saja," kata dia.
Baca juga: Peserta Aksi Kamisan Minta Jokowi Akui Kasus HAM Berat Masa Lalu
Jika kasus-kasus ini kemudian dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu, tutur Prasetyo, memang harus diselesaikan dengan menyesuaikan realitas yang ada. Menurutnya, untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu memang tidak ada istilah kadaluarsa. Jika tidak segera selesai, akan menjadi dosa masa lalu yang menjadi warisan bangsa terus-menerus.
"Dengan lihat realitas yang ada, sulitnya mencari bukti-buktinya, saksinya juga siapa lagi, kan sudah sekian lama. Perkara '65-'66 bayangkan, mungkin kita belum lahir, pelakunya siapa? Korban di mana? Bukti-bukti lain seperti apa? Sehingga waktu itu kita usulkan untuk diselesaikan dengan pendekatan nonjudicial, rekonsiliasi, itu yg paling mungkin dilakukan," ucapnya.
Tetapi, diakuinya upaya itu terbentur beberapa hal, terutama untuk diteruskan prosesnya di jalur hukum. Jikalau bisa diupayakan, Jaksa Agung ini menilai harus ada campur tangan keputusan politik.
"Ini peristiwa sudah lama terjadi sebelum UU Peradilan HAM UU 26/2000. Ketika peristiwa ini terjadi sebelum ada undang-undang itu, maka proses hukumnya pun harus melalui keputusan politik DPR. Harus bentuk dulu peradilan HAM ad hoc. Sekarang semuanya belum ada," tuturnya.
Baca juga: Peserta Aksi Kamisan Tunjukkan Foto Korban HAM ke Jokowi
Peserta Aksi Kamisan bertemu dengan Jokowi di Istana, Kamis (31/5) dan meminta Jokowi mengakui kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sebagai jawaban, Jokowi akan berkoordinasi dengan Komnas HAM dan Jaksa Agung.
"Bapak Presiden minta kami mengejar-ngejar Bapak Moeldoko seandainya permohonan kami agar Bapak Presiden memberikan pengakuan terjadinya pelanggaran, kasus-kasus yang sudah dijelaskan Komnas HAM, yaitu Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, penghilangan paksa, 13-15 Mei '98, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi '65 menjadi kewajiban Jaksa Agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan," ujar ibu korban Tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih, di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (31/5). (nif/nkn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini