Setidaknya, di mata penulis, ada sejumlah kausa berganda untuk kegaduhan terutama di ruang media sosial. Pertama, rilis disajikan relatif terburu-buru serta beriringan dengan sejumlah momentum yang kita sebut saja "persekusi entitas dakwah". Majelis dakwah internal dua operator seluler di Jakarta pada pra-Ramadhan dikritisi atas list penceramah, yang dinilai radikal oleh sejumlah netizen, hingga kemudian daftar itu dihapus dan diganti.
Secara simultan, tafsir atas status di media sosial pun menguat untuk sikap terkait sejumlah serangan bom terduga teroris di Surabaya dan Pekanbaru. Tanpa klarifikasi lebih detil, apalagi diskusi, pelaporan atas sejumlah status terjadi hingga kepolisian menetapkan tersangka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, rilis dihadirkan tanpa proses musyawarah dan atau komunikasi intensif sebelumnya di antara para pihak. Tak ayal, selain muncul penolakan dari sejumlah nama, ada pula nama yang masuk ternyata sudah meninggal dunia.
Bahkan, Ketua PBNU Said Agil Siradj dalam sejumlah media dengan gamblang menyebutkan proses kemunculan nama yang tanpa diskusi di awal, sehingga maksud utama akhirnya tidak disertai proses yang apik dan cermat.
Dengan variasi dan ragam organisasi keislaman dan otoritasnya di Indonesia yang memiliki rentang demikian banyak, maka tentu kesamaan persepsi atas kebijakan harus melewati pembicaraan intensif dan telaten.
Ketiga, pada zaman now, dengan fragmentasi masyarakat yang tak kunjung mereda imbas politik sikap cinta berlebih dan benci berlebih (haters & lovers), ekses atas pesan komunikasi kemudian di luar nalar.
Niat Kemenag malah direspons dengan daftar 200 mubalig dijadikan justifikasi dan legitimasi dalam menyematkan syak prasangka yang sebelumnya sudah dikantongi oleh mereka yang larut dalam haters dan lovers tadi. Pecah belah seolah menemukan pembenaran, alih-alih daftar disikapi dingin serta mengutamakan nilai-nilai kebenaran.
Maka itu, agar kita pun tak terus larut dalam gaduh benar/salah dan atau baik/benarnya daftar tersebut, selagi masih di awal bulan puasa ini, mari bersama mengambil hikmah peristiwa (ibroh) sekaligus menyelami sungai kebijaksanaan atas peristiwa tersebut.
Yang utama sekali adalah semua dari kita, selagi berada di bulan baik ini, agar bersama meletakkan akar kata komunikasi dalam frasa tawashul yang artinya tersampaikan; Sebuah proses ketersambungan pesan yang dilakukan dua pihak yang berkomunikasi melalui proses runtun.
Komunikasi yang relatif searah dan menitikberatkan pesan sampai tanpa kesamaan pemahaman, alias ittishal, justru harus dijauhi karena lingkungan komunikan dan komunikator keagamaan saat ini relatif tidak kondusif.
Ittishal yang cenderung jadi gaya jadul pemimpin ke masyarakat karena bersifat otoritatif, seyogianya tidak dipraktikkan lagi Kemenag. Gaya tawashul, yang prosesnya mungkin lebih lama dan bertahap, umumnya memberikan hasil lebih baik karena tercipta kesetaraan dari sisi frame of reference dan field of experience.
Demikian pula metodologinya. Tawashul ini bisa dipraktikkan setidaknya dalam dua cara dalam komunikasi Islam (Harjani Hefni, 2015) yakni hiwar dan jidal. Hiwar berarti pembicaraan antara dua orang atau lebih, yang bertukar pikiran dan saling mengoreksi dalam pembicaraan. Makna lainnya adalah pembicaraan antara dua orang atau lebih yang bertujuan menyampaikan informasi atau meyakinkan orang lain dalam suasana tenang dan tidak panas.
Sementara jidal --yang kerap diterjemahkan berdebat dalam Bahasa Indonesia-- sebetulnya menekankan upaya merajut pendapat-pendapat yang berseberangan seperti merajut benang-benang yang kusut. Kata ini merujuk proses komunikasi yang digunakan untuk orang yang berseberangan dengan pendapat yang kita yakini agar kembali sesuai dengan yang sebenarnya.
Karenanya, dengan komunikasi intens metode hiwar bahkan jidal sebelum merilis sebuah kebijakan, maka pesan komunikasi sudah disepakati para pihak sebelum disampaikan lebih luas ke khalayak.
Akhirul kalam, berkaca dari kejadian tersebut dan termotivasi berbagai tahapan ibadah pada bulan suci ini, mari memotivasi diri dan lingkungan untuk bersama menciptakan Qaulan Ma'rufan (perkataan yang baik), Qaulan Kariman (perkataan yang mulia), Qaulan Maysuran (perkataan yang mudah), Qaulan Balighan (perkataan yang sampai kepada maksud), dan Qaulan Layyinan (perkataan yang lemah lembut), serta Qaulan Sadiddan (perkataan yang benar). Insya Allah.
Muhammad Sufyan Abdurrahman mahasiswa S3 Media dan Agama UIN SGD Bandung, dosen Digital Public Relations Telkom University
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini