Bertugas sebagai Senior Adviser di WHO South East Asia Regional Office (SEARO) mengantarkan saya berada di New Delhi selama tiga tahun belakangan. Tentu ada, dan mungkin cukup banyak 'perbedaan' dengan situasi di Tanah Air.
Pertama, besok 'end of sehri' (istilah di India untuk atau akhir waktu sahur) adalah jam 03.59, yang pada akhir puasa (15 Juni 2018) bahkan akan jatuh pada jam 03.47. Sementara itu, 'iftar' atau waktu berbuka hari ini adalah pukul 19.07 sore atau malam dan pada akhir puasa (15 Juni 2018) bahkan akan terjadi pada pukul 19.20.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Menyambut Ramadan Ketiga di Nanjing |
Artinya, rentang waktu puasa akan lebih lama jika dibandingkan dengan di Tanah Air. Memang, banyak juga negara yang rentang waktu puasanya lebih lama daripada di Indonesia. Tetapi di India ada masalah kedua, yaitu badai.
Hari-hari belakangan ini sedang ada badai debu di India. Angin berhembus kencang disertai debu, dan menelan banyak korban jiwa. Berita CNN menyebutkan 'India dust storms: More than 110 killed'.
Kemarin, beberapa pohon di dekat rumah saya juga bertumbangan. Padahal, mobil di New Delhi banyak yang diparkir di bawah pohon karena sebagian besar rumah tidak memiliki garasi.
Masalah ketiga adalah panasnya cuaca. Hari pertama puasa, suhu New Delhi 41Β° C. Ramalan cuaca menunjukkan bahwa pada 26 Mei 2017, suhu akan berada pada 45Β° C. Entah akan berapa derajat nanti di bulan Juni.
Untungnya, pada akhir Mei ini saya akan bertugas ke Tokyo. Jadi saya dapat menghindari panas kota New Delhi beberapa hari. Tunggu dulu, ada 'tantangan' lain yang akan saya hadapi di Tokyo. Yaitu waktu subuh di awal Juni adalah sekitar jam 02.50 pagi.
Mei dan Juni memang biasanya sedang panas-panasnya di New Delhi. Tak heran, pendingin ruangan jadi laku keras, baik AC sebagaimana yang umum kita ketahui, maupun 'AC jerami' seperti di gambar ini.
Pada dasarnya, alat ini disebut 'cooler' berupa kotak dari semacam jaringan kawat. Pada dinding dan isinya terdapat lempengan jerami dan di dalamnya dimasukkan air. Kalau AC biasa sudah tidak dingin, maka kita akan ganti freonnya.
Nah kalau 'AC jerami', sesuai namanya harus diganti jeraminya. Foto yang ditampilkan di artikel ini adalah di Masjid Aligarh Muslim University, 130 km dari New Delhi. Di sepanjang jalan dapat ditemui orang menjual 'lempengan jerami' untuk 'cooler' ini.
Kalau alat ini dihidupkan, memang akan terasa sejuk walaupun tidak sesejuk AC. Peringatan, AC jerami mengeluarkan suara yang sangat bising. Bahkan salah seorang mahasiswa Indonesia yang saya kenal menggambarkannya seperti suara helikopter!
Oya, kebetulan di awal puasa ini, kantor WHO SEARO pindah ke lokasi baru. Butuh waktu 15 menit untuk jalan kaki ke masjid terdekat. Saya sudah mencoba menjalaninya, rutenya lumayan enak karena melewati toko-toko souvenir dan lain-lain.
Tapi, panasnya itu memang menyengat sekali. Ditambah lagi, data dari 'Breathelife' (WHO & UNEP) menunjukkan kadar polusi udara di New Deli adalah 14,3 kali lebih buruk dari kadar aman, ditandai dengan kadar PM 2,5 di kota ini adalah 143 Β΅g/m3.
Sementara batas aman menurut WHO adalah hanya 10 Β΅g/m3. Sebagai gambaran, data 'Breathlife' menunjukkan kadar PM 2,5 di Jakarta adalah 45 Β΅g/m3. PM 2,5 menunjukkan ukuran 'particulate matter' (partikel di udara) sebesar 2,5, cukup kecil sehingga akan masuk langsung ke dalam paru-paru manusia.
Jadi, lain tempat lain pula tantangannya. Semoga semua membuat ibadah di bulan Ramadan ini barokah, di manapun tempatnya. Dan semoga ibadah puasa kita semua di bulan Ramadan ini mendapat rahmat dan berkah dari Allah SWT.
*) Prof Tjandra Yoga Aditama Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) dan Mantan Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan RI Sekarang bertugas di WHO South East Asia Regional Office di New Delhi. (rns/rns)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini