"Oleh karena itu, Fraksi PPP, selaku pengusul RUU Larangan Minuman Alkohol yang hingga saat ini belum tuntas pembahasan bersama pemerintah, mengimbau kepada pihak pemerintah agar tidak berlarut-larut atau menunda pembahasan RUU tersebut agar bisa segera menjadi payung hukum bagi penegakan aturan di masyarakat," ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Jumat (27/4/2018).
Ia menjelaskan saat ini pihak kepolisian masih dilematis saat mengambil tindakan. Sebab, secara hukum, belum ada aturan setingkat undang-undang terkait dengan alkohol, baik untuk kebutuhan industri maupun untuk digunakan secara tradisional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, guna mengomentari soal miras oplosan, Achmad menilai itu disebabkan beberapa faktor, seperti sosiologis dan ekonomi. Namun ada juga sebagian masyarakat yang mengonsumsi minuman beralkohol sebagai bentuk penghormatan budaya leluhur.
Akibat impitan ekonomi, daya beli masyarakat menjadi lemah sehingga mereka mencari alternatif miras oplosan yang lebih murah tapi dengan kandungan alkohol yang tinggi, sekitar 60%.
"Impitan ekonomi dan banyaknya waktu kosong membuat mereka mencari kesibukan dengan konsumsi minuman beralkohol bersama-sama dan berkelompok. Dan lebih menyedihkan lagi daya beli mereka yang rendah menyebabkan mencari alternatif miras oplosan yang bisa menghadirkan sensasi dengan harga murah. Biasanya miras oplosan mengandung alkohol di atas 60%. Sehingga memiliki risiko tinggi," katanya.
Minimnya daya beli itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk berlomba memproduksi miras oplosan yang bahan-bahan dasarnya mayoritas metanol, yang sesungguhnya bukan merupakan bahan pembuat alkohol. Karena itu, miras oplosan lebih berbahaya ketimbang miras pada umumnya.
"Secara kimiawi, metanol lebih banyak dipergunakan untuk bahan industri, seperti bahan cat, spiritus, dan lainnya," pungkasnya. (ega/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini