"Itu khayalan Gerindra aja, karena sudah panik, lalu mulai membangun imajinasi-imajinasi yang jauh dari realitas politik. Ya itu khayalannya Ferry (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono, red), khayalannya siapa tuh kader Gerindra, Fadli (Fadli Zon, red), ini khayalan-khayalan aja," ujar Sekjen NasDem Johnny G Plate kepada wartawan, Selasa (23/4/2018).
Johnny balik menuding Gerindra yang tengah panik karena elektabilitas capresnya terus menurun dan koalisinya rapuh. Bagi Johnny, serangan-serangan Gerindra bertujuan untuk membolak-balikkan logika masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Johnny juga menuding Gerindra gede rasa (GR) dengan pernyataan Jokowi terkait terbukanya opsi duet Jokowi-Prabowo. Padahal, opsi terbuka Jokowi tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi dalam kontestasi politik.
"Ya itu Gerindra GR saja seolah-olah Pak Jokowi berharap sekali. Nggak kok," ungkapnya.
Kendati demikian, menurut Johnny, secara teori politik, duet Jokowi-Prabowo bisa diwujudkan, namun, secara realitas politik, duet tersebut sulit terwujud. Meski berpendapat demikian, ia menegaskan akan tetap mendukung Jokowi siapapun cawapres yang nantinya mendampingi.
"Nasdem itu mendukung Jokowi, karena programnya Jokowi itu baik untuk bangsa dan negara, untuk rakyat. Kami akan mendukungnya. Tetapi kalau Gerindra memainkan isu Jokowi-Prabowo menjadi cawapres, tapi Pak Prabowo mensyaratkan portofolio yang begitu berat dengan tidak menghargai hak prerogatif presiden itu tidak bisa," tuturnya.
![]() |
Sebelumnya, Joko Widodo membuka opsi duet dengan Prabowo Subianto pada Pilpres 2019. Menurut Partai Gerindra, wacana opsi duet yang diembuskan itu adalah gejala Jokowi pusing.
"Jokowi dan Istana lagi mumet," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono kepada detikcom, Selasa (24/4/2018).
Jokowi, ujarnya, sedang mumet alias pusing memikirkan elektabilitasnya yang turun. Ferry mengutip hasil survei Lembaga Media Survei Nasional (Median).
"Berdasarkan hasil survei Median, elektabilitas Jokowi hanya 36 persen. Survei tersebut dilakukan sebelum harga BBM naik, sebelum Premium hilang di pasaran, sebelum kasus Sukmawati, dan sebelum dikeluarkan Perpres Nomor 20 Tahun 2018. Jadi kecenderungannya pasti turun," tuturnya. (tor/tor)