Nama Kardinah tak lepas dari bayangan RA Kartini. Perempuan kelahiran Jepara, 1 Maret 1881 itu merupakan anak ke-7 Bupati Jepara RM Adipati Sosrodiningrat. Ibunya, MA Ngasirah, salah satu selir Sosrodiningrat.
Setelah menikah dengan Patih Soejitno, anak Bupati Tegal, Ario Reksonegoro, pada 24 Januari 1902, Kardinah mulai mewujudkan cita-cita Het Klaverblad (Daun Semanggi), sebutan Kartini untuk dirinya bersama kedua adik perempuannya, Kardinah dan Roekmini.
"Cita-cita ketiga perempuan itu adalah agar kaum perempuan mendapatkan hak yang sama untuk bisa meraih pendidikan," kata Krisnina (Nina) Maharani Akbar Tandjung, penulis buku Pikiran Kartini kepada detik.com, Rabu (18/4/2018).
Komitmen dan kepedulian Kardinah terhadap perbaikan nasib kaum perempuan, sama seperti Kartini. Maklum, kakak-beradik itu mendapatkan bekal pendidikan dan warisan kecerdasan di atas rata-rata dari sang ayah, Raden Mas Adipati Sosrodiningrat. Meski masih tunduk-patuh pada adat, antara lain dengan memingit semua anak perempuannya, Sosrodiningrat mengimbanginya dengan memberikan mereka dasar pendidikan yang baik. Juga menyediakan berbagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan anak-anaknya secara mandiri.
"Raden Mas Sosrodiningrat ini juga banyak menulis nota untuk mendesak agar dibangun sekolah," kata Nina.
Seperti Kartini, Kardinah juga termasuk yang suka berkorespondensi dengan Nyonya Abendanon di Belanda. Materi yang biasa didiskusikannya adalah tentang keterbatasan pendidikan di daerah tempatnya tinggal, Tegal. Kardinah selalu merasa tak puas dengan kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi akses pendidikan bagi kaum bumiputera. Hingga pada akhirnya Kardinah dapat mendirikan sekolah kejuruan bagi kaum perempuan dan sekolah rendah pada 24 Oktober 1924.
Sebelumnya ia membangun sekolah kepandaian putri Wismo Pranowo pada 1 Maret 1916 untuk gadis pribumi. Selain Kardinah sendiri, Dewi Sartika dari tanah Sunda dan Ki Hajar Dewantara ikut mengajar di sekolah tersebut. Kepada para murid antara lain diajarkan bahasa Belanda, dasar pendidikan kebangsaan dan kebudayaan Jawa, Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K), mengaji Alquran, pendidikan watak, dan membatik.
Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah kesehatan masyarakat. Karena itu dia berupaya memperbaikinya dengan membangun fasilitas kesehatan pada 1927 yang diberi nama Kardinah Ziekenhuis atau Rumah Sakit Kardinah. Lewat fasilitas kesehatan yang dibangunnya, Kardinah juga berupaya mengubah pandangan masyarakat agar tidak terlalu percaya pada segala klenik, terutama bila terkait penyakit.
Situs rsudkardinah.net menyebutkan, setelah RA Kadrinah wafat pada 1971, pengelolaan balai pengobatan itu kemudian diserahkan ke Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Madya Tegal. Sejak penyerahan itu Balai Pengobatan itu berganti menjadi Rumah Sakit Umum Kardinah. RSU Kardinah berdiri di atas tanah seluas 50.083 meter persegi dengan luas bangunan 16.347 meter persegi.
Sayang, beberapa waktu lalu manajemen rumah sakit tersebut bertindak tercela. Wakil Direktur RSUD Kardinah Tegal Cahyo Supardi menjadi tersangka pemberi suap ke Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno alias Bunda Sitha dan Amir Mirza Hutagalung. Kasusnya saat ini tengah bergulir di pengadilan Tipikor, Jakarta.
Hal menarik lainnya dari kiprah Kardinah adalah andilnya dalam meningkatkan kualitas batik Tegal yang kala itu masih didominasi dengan motif keraton dan berwarna hijau atau kecoklatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ciri khas motif batik Tegalan lebih mengarah pada motif rengrengan besar atau melebar. Warna lembut dan kontras adalah motif gaya pesisiran, membuat kesan yang lebih tegas dan lugas seperti karakter masyarakat Tegal," tulis Vita Zahrah dalam infotegal.
Hal menarik lain dari batik Tegalan ialah ornamen-ornamen disekitar motif utama. Contohnya ornamen titik-titik, koma ataupun lingkaran kecil yang makin menghidupkan dan memiliki proporsi penempatan yang tepat dengan motif utama pada batik Tegalan. Batik Tegalan juga memiliki makna dan filosofi tertentu contohnya pada motif Gurdo yang melambangkan sebagai penggambaran panji-panji garuda dan kebesaran yang dibawa oleh kelompok Amangkurat I dalam perjalanan pelariannya.
Pemerintah Hindia Belanda mengapresiasi jasa-jasa Kardinah dengan menganugerahkan bintang Ridder van Oranje Nassau -pemerintah Indonesia sendiri pada 21 Desember 1969 menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik Indonesia.
Diandra Aliffa (magang)