Kabar rencana pernikahan dini di Bantaeng menjadi sorotan publik sejak beberapa hari lalu. Pasangan remaja berusia 15 tahun dan 14 tahun itu telah mendaftarkan diri ke KUA Bantaeng untuk menikah setelah mengantongi putusan dispensasi Pengadilan Agama setempat.
Pasangan remaja itu niscaya tak memahami benar pikiran Raden Ajeng Kartini yang telah dikemukakan lebih dari seabad lampau. Pada eranya, Kartini baru naik pelaminan pada usia 24 tahun. Padahal kala itu hampir semua perempuan di eranya telah dinikahkan begitu memasuki usia belasan tahun.
Tak cuma itu, meski lahir dan besar di lingkungan budaya Jawa yang menganut prinsip 'banyak anak, banyak rezeki', perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879, itu menentangnya dengan keras. Selain sangat memperhatikan faktor kesehatan perempuan atau si ibu yang mengandung dan melahirkan, dia concern terhadap masa depan anak-anak.
Dalam sebuah surat kepada sahabatnya, Jaques Henrij-Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon-Mandri, 3 Januari 1902, Kartini menulis, "...bahwa orang tidak berhak membuat anak, kalau ia tidak sanggup membiayai hidupnya...."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari surat itu dapat dipahami betapa Kartini dianugerahi kemampuan 'dapat melihat jauh ke depan'. Dalam hal keluarga berencana (KB), bahkan pemikirannya jauh mendahului bangsa-bangsa Barat. Konsep birth control (keluarga berencana) di negara-negara Barat baru diterapkan pada 1930-an.
"Di Amerika Serikat, seorang wanita bernama Margareth Sanger pada tahun 1914 diajukan ke pengadilan karena menyebarkan brosur family limitation (pembatasan keluarga). Di Inggris, sarjana wanita Dr Mary Stopes memberi penerangan tentang planned parenthood (keluarga berencana) sekitar tahun 1914," tulis Sitisoemandari Soeroto dalam 'Kartini Sebuah Biografi' yang dikutip detikcom, Sabtu (21/4/2018).
Di Indonesia, ia melanjutkan, pengertian 'keluarga berencana' baru meluas pada 1950-an, sejak Ikatan Dokter Indonesia mendirikan Planned Parenthood Association atas prakarsa Dr Soeharto.
Kehidupan masyarakat, khususnya di lingkungan para bangsawan Jawa, di abad ke-19, seorang pejabat pemerintahan sekelas bupati, selain harus menghidupi anak-istri yang banyak, masih ditumpangi oleh keponakan, ipar, dan sebagainya. Sudah tentu gajinya tidak mencukupi pembiayaan yang demikian besar, sehingga tidak mungkin dapat memberi pendidikan yang pantas kepada semua anaknya. Akibatnya, taraf hidup keluarga, juga kewibawaannya, mengalami kemunduran. Sebagian anak dan cucunya telantar.
Baca juga: Sakralnya Kirab Pataka RA Kartini di Rembang |
Sebab-sebab kemerosotan kewibawaan pada bupati itu, menurut Sitisoemandari, sudah dibahas secara mendalam oleh Pangeran Hadiningrat dalam 'Nota Hadiningrat' (Bab V), disertai saran-saran untuk mengembalikan kewibawaannya.
Tetapi Kartini berpendapat saran-saran itu belum cukup. Ia mengajukan satu saran lagi, yaitu para bupati dan pejabat tinggi lainnya tidak boleh mempunyai anak banyak-banyak. Harus dibatasi!
"Kalau orang mempunyai 25 orang anak, bagaimana dapat memberi pendidikan yang baik kepada semuanya? Dahulu pernah diadakan pertanyaan mengenai sebab-sebab kemerosotan kewibawaan kaum ningrat bumiputra. Apakah waktu itu juga singgung soal bahwa orang tidak berhak membuat anak kalau dia tidak sanggup membiayai hidupnya?" tulis Kartini.
Ledakan penduduk dalam dasawarsa 1960-1970-an menyadarkan pemerintah akan pentingnya membatasi jumlah anak dalam keluarga. Program KB dicanangkan Presiden Soeharto sejak Pelita I dan terus dikembangkan. Selanjutnya program tersebut ditingkatkan dengan membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang dipimpin pejabat setingkat menteri.
Diandra Aliffa (magang)