Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Reza Indragiri Amriel mengungkapkan hal itu menanggapi pernikahan sejoli belia berumur 15 dan 14 tahun di Sulawesi Selatan baru-baru ini.
Hak anak semacam itu, kata Reza, tercantum dalam klaster Konvensi Hak Anak, yakni hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, serta perlindungan khusus.
"Pemenuhan hak ini bakal kian mempermudah pasutri usia dini untuk berperan sebagai keluarga secara optimal," ujarnya dalam pesan tertulis kepada detik.com, Selasa (17/4/2018).
Jika negara melanjutkan dengan program edukasi keluarga seperti keterampilan pengasuhan, semoga para pasutri belia, Reza melanjutkan, hal itu diharapkan akan mampu menjadikan mereka sebagai ayah bunda yang efektif bagi anaknya.
Ia meyakini pendekatan ini dapat menjadi solusi atas perbedaan pengaturan usia minimal memasuki jenjang pernikahan dalam UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak.
"Inilah esensi kepedulian atas fenomena pernikahan dini, ketika negara menjamin pemenuhan hak-hak anak-anak yang menikah dini serta membekali mereka dengan program-program edukasi keterampilan pengasuhan, semoga para pasutri belia itu akan mampu menjadi ayah bunda yang efektif bagi anak-anak mereka," kata Reza.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat remaja Indonesia yang sudah memiliki anak jumlahnya cukup tinggi, yakni 48 dari 1000 remaja. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015 menargetkan angka pernikahan usia dini sebesar 38 per 1000 remaja.
Tetapi realitas di daerah berkata lain. Kalimantan Barat menjadi daerah tertinggi pernikahan dini. Menurut BKKBN, 108 dari 1000 remaja dilaporkan telah hamil di provinsi itu.
(ayo/jat)