Soal UNBK yang Susah atau Milenial yang Cengeng?

Soal UNBK yang Susah atau Milenial yang Cengeng?

Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Selasa, 17 Apr 2018 11:28 WIB
Suasana pelaksanaan UNBK di salah satu SMA di Jakarta. Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Para siswa SMA langsung curhat lewat media sosial setelah mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang dianggap sukar. Mendikbud Muhadjir Effendy tak mau reaktif. Namun dia mengingatkan pentingnya karakter kuat bagi generasi milenial. Memangnya bagaimana karakter generasi milenial sekarang ini?

"Memang tidak semua soal memiliki tingkat kesulitan yang sama. Tahun ini mulai disisipkan soal-soal untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Higher Order Thingking Skills). Tetapi jumlahnya kurang dari 15 persen. Jadi, mestinya soal yang bertingkat kesulitan ringan dan sedang jauh lebih banyak. Banyak itu relatif. Sekarang belum bisa diketahui berapa persen dari 1.533.937 siswa yang ikut UN yang mengalami kesulitan. Kalau yang dijadikan dasar tulisan di Medsos, sebetulnya tidak banyak. Hanya memang bikin heboh saja. Langkah ini merupakan upaya kita untuk membawa siswa siswa kita agar dapat mencapai standar yang ditetapkan oleh lembaga internasional dalam hal ini OECD melalui tes PISA nya," ujar Muhadjir.

"Kita tahu berdasar hasil PISA 2015 peringkat Indonesia sangat rendah. Ini terjadi bukan karena siswa-siswa kita tidak pintar, tetapi standar yang kita gunakan selama ini memang rendah. Karena PISA memakai standar HOTS tersebut. Oleh sebab itu UN kita mau tidak mau harus segera meningkatkan standar dengan, setahap-demi setahap memasukkan soal soal HOTS. Baru dimulai sekarang ini pun sebetulnya bisa dibilang agak terlambat. Kalau kita ingin ingin bangsa Indonesia masa depan adalah bangsa besar dan maju, sebagaimana disampaikan oleh presiden Jokowi di setiap kesempatan, ya generasi milenial nya harus punya karakter kuat, mampu memasuki arena persaingan tingkat tinggi, tidak lembek dan cengeng," sambungnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karakter Generasi Milenial

Soal karakter generasi milenal sudah kerap dibahas dalam sejumlah riset. Karakter cengeng atau yang mendekati itu, pernah muncul dalam salah satu riset. Namun dalam riset-riset lainnya, generasi milenial juga disebut memiliki karakter yang berkebalikan dengan sifat cengeng atau lembek.

Mengenai generasi milenial bisa merujuk pada teori generasi yang dikemukakan oleh Neil Howe dan William Strauss pada tahun 1991. Saat itu mereka mengelompokkan generasi yang lahir di era perang dunia yang disebut pra-baby boomers atau kadang disebut silent generations, kemudian yang lahir setelah perang dunia (1946-1960) yang disebut baby boomers, lalu Generasi X yang lahir antara 1961 hingga 1980.



Pada tahun 1991, Howe dan Strauss menyebut generasi setelah Generasi X adalah Generasi Y (lahir antara 1981-1995) dan Generasi Y (lahir antara 1995-2010). Namun di tahun 2000, dalam buku Millenials Rising: The Next Great Generation, Howe dan Struss 'merevisi' teorinya dan menyebut generasi yang lahir tahun 1982 dan seterusnya sebagai Generasi Milenial.

"Sebagai sebuah kelompok, Generasi Milenial tidak seperti generasi muda lainnya dalam memori hidup. Mereka lebih banyak, lebih akmur, berpendidikan lebih baik, dan lebih beragam secara etnis. Lebih penting lagi, mereka mulai memanifestasikan beragam kebiasaan sosial yang positif yang orang amerika yang lebih tua tidak lagi berhubungan dengan pemuda, termasuk fokus baru pada kerja tim, prestasi, kesopanan, dan perilaku yang baik," tulis Howe dan Strauss dalam bukunya tersebut seperti dikutip detikcom, Selasa (17/4/2018).

Howe dan Strauss juga mencantumkan sebuah survei online tentang penyebutan generasi. Survei itu menunjukkan bahwa mereka yang lahir setelah tahun 1982 lebih suka disebut sebagai Generasi Milenial (Millennials).



Lebih lanjut mengenai teorinya, Howe & Strauss menyebut Generasi Milenial adalah kelompok yang optimistis dibandingkan Generasi X. Milenial jauh lebih optimis dengan dunia di mana mereka tumbuh dewasa. Menurut sebuah survei yang dikutip dalam buku itu, sembilan dari sepuluh Milenial menggambarkan diri sebagai individu yang 'bahagia', 'percaya diri', dan 'positif'.

"Mereka tim yang kooperatif. Mulai dari seragam sekolah hingga pembelajaran tim, hingga pengabdian masyarakat, Generasi Milenial tertarik pada aktivitas kelompok," tulis Howe dan Strauss.

Menurut Howe dan Strauss, Generasi Milenial bukan tipikal yang suka menerobos aturan. Mereka sangat senang untuk mengikuti aturan.



Generasi Milenial yang digambarkan oleh Howe dan Strauss juga disebut jauh lebih pandai dari yang kebanyakan orang pikir. Generasi Milenial bahkan menilai dirinya 'keren jika pintar'. Ada pula hasil tes yang menunjukkan remaja tahun 2000an di Amerika Serikat sangat menantikan masuk sekolah dan ingin melanjutkan ke jenjang kuliah.

Soalnya yang Kelewat Susah

Banyak siswa-siswi SMA yang mengeluhkan sulitnya mengerjakan soal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Curhatan itu ramai tersebar di media sosial.

"Kalau siswa sudah mempersiapkan diri secara maksimal tapi mereka tidak mampu secara general menghadapi soal, berarti ada mekanisme soal ujian itu yang ada masalah. Misalnya tidak dibahas di kelas. Kita ingin bangun pendidikan kita yang baik. Prestasi, seperti di olahraga dapat dicapai jika sistemnya bagus. Jadi prestasi dan peningkatan kita terlihat dari sistem pendidikan kita dari pelajaran, kurikulum," kata anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat, Putu Supadma, saat dihubungi detikcom, Senin (16/4).

Sementara itu tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memberi penggambaran tentang Generasi Y (atau Milenial). Menurut Jokowi, generasi inilah yang nantinya menguasai politik dan ekonomi.

"Mereka (mahasiswa) inilah yang masuk generasi Y, yang akan merubah landscape politik dan landscape ekonomi nasional. Lihat nanti 5 atau 10 tahun ke depan, akan berubah semuanya," ujar Jokowi saat kuliah umum di Universitas Ahmad Dahlan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (22/7/2017).

Generasi Y, dinilai Jokowi, tidak akan lagi membaca media konvensional atau media cetak, melainkan media online di perangkat ponsel pintar. Begitu pula soal TV yang mulai ditinggalkan. Mereka akan beralih ke video di media sosial.

"Karena generasi ini (generasi Y) sudah tidak baca koran lagi. Karena kalau pakai smartphone tinggal buka yang dotcom, dotcom, kan banyak sekali di situ. Tidak akan lihat TV lagi karena sudah bisa minta video-video. Pegangannya hanya smartphone bisa tahu semuanya," papar dia. (bag/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads