"Kebijakan ini tentu akan memberatkan APBN yang sebelumnya diklaim lebih rasional, menambah subsidi dan memperlambat program utama pemerintah seperti infrastruktur atau program lain. Juga menguatkan dugaan bahwa cawapres depan adalah tokoh yang punya keahlian ekonomi," kata anggota Fraksi PAN DPR, Tjatur Sapto Edy, kepada detikcom, Kamis (12/4/2018).
Populisme Jokowi membutuhkan dukungan dana untuk memberi subsidi dan menekan tarif. Tentu dananya diambilkan dari APBN. Maka otomatis APBN terbebani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka ke depan, ekonom yang menjadi pendamping Jokowi bakal membenahi kekurangan ini. Siapa ekonom yang diduga bakal menjadi cawapres Jokowi?
"JK junior," kata Tjatur, merujuk ke Wapres Jusuf Kalla versi terbaru, tokoh yang punya keahlian ekonomi sekaligus menjadi representasi Islamis.
Kata Tjatur, kebijakan populis seperti ini juga pernah dilakukan Pemerintah sebelumnya pada Tahun 2009 dengan menurunkan harga BBM. Bedanya pada saat itu, harga minyak dunia sedang turun tetapi sekarang sebaliknya.
"Tetapi jangan lupa Kebijakan 'gula-gula' ini akan mengesankan inkonsistensi Pemerintah atas kebijakan besarnya yang dilakukan selama ini, mengonfirmasi terjadinya pelemahan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat. Pemerintah seakan sadar bahwa rakyat banyak susah," kritik Tjatur.
Memang dari sisi potensi keuntungan politik Pilpres, kebijakan populis menguntungkan petahana seperti Jokowi. Namun Tjatur menilai kebijakan populis cukup menolong masyarakat setelah ada pukulan ekonomi.
"Kebijakan populis seperti penurunan tarif tol, peningkatan anggaran dan penerima bantuan sosial sampai Kebijakan harga BBM adalah wajar dan sah dilakukan oleh Pemerintah untuk mengambil hati masyarakat menjelang Pemilu 2019," kata dia. (dnu/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini