Narasi kedua sebetulnya 'muncul' lebih dulu ketimbang orasi Prabowo. Narasi ini biasanya lebih banyak dikaitkan dengan angka 2045 yang mana usia kemerdekaan bangsa Indonesia genap seabad. Walau demikian, ia tetap tidak bisa 'dilepaskan' dari 2030. Pasalnya, narasi 'Indonesia Emas 2045' tidak bisa dilepaskan dari hasil riset McKinsey (Fensom, 2016) yang menyebut Indonesia pada tahun 2030 akan mengalami kenaikan ekonomi sebesar 40%. Membawa Indonesia ke dalam lima besar raksasa ekonomi Asia. Dua puluh tahun kemudian, macan Asia ini menjadi nomor 4 terbesar di dunia. Hanya kalah dari China, India, dan Amerika Serikat (Martin, 2017).
Dengan demikian ada dua narasi terkait '2030': pertama, momentum keruntuhan; kedua, momentum kebangkitan. Hari ini, dengan demikian, kita berada di persimpangan, di landasan-pacu: merdeka atau mati, jaya atau bubar. Bergantung pada apa yang disebut sebagai 'bonus demografi': anak muda, yang diharapkan kreatif, berintegritas, menguasai teknologi, dan bisa mendorong percepatan pertumbuhan (terutama atau setidak-tidaknya) ekonomi. Apalagi tren sumbangan devisa negara dari e-commerce dan industri kreatif makin lama makin tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebabnya sederhana: bangsa kita masih rendah minat bacanya, tetapi tinggi gairah bersosial-medianya. Selain jadi gampang menyebarkan dan terjebak dalam pusaran jual-beli hoax dan ujaran kebencian, situasi ini juga memungkinkan potensi besar untuk kita berdebat dan bertengkar pada hal-hal yang tidak prinsipil, yang membuat kita jalan di tempat, atau bahkan mundur. Ada energi berlebih, gejolak darah-muda, yang perlu dikelola, ditampung, dan disalurkan kepada pos-pos produktif.
Di sisi lain, perkembangan teknologi telah sampai pada tahap disruptif. Arus informasi menjadi supercepat. Tatanan sosio-kultural, politik, dan bahkan bisnis (yang konvensional) dikontestasi. Taruhlah kemestian kita mempertanyakan, misalnya, penggunaan artificial intelligence secara masif --yang dalam satu dan lain hal boleh jadi kita taken for granted. Mengimbangi percepatan ini saja sudah cukup bikin kewalahan. Jangan-jangan, tanpa pemersiapan diri yang baik, Revolusi Industri 4.0 malah betulan menyapu kita di tahun 2030; menjadikan kita budak di Tanah Air sendiri.
Pada titik inilah sejatinya instrumentalitas program Making Indonesia 4.0 yang digalakkan Airlangga Hartanto, Menteri Perindustrian, terletak. Program ini menikberatkan penguatan dan pengembangan secara inklusif lima sektor industri yang diyakini dapat mengokohkan kebangkitan Indonesia di tahun 2030, menuju Indonesia Emas 2045. Kelima industri tersebut antara lain: industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia.
Pengelolaannya tidak diserahkan secara elitis kepada kelompok-kelompok tertentu, tetapi juga diarahkan untuk melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk UMKM. Targetnya: selain penguatan kuda-kuda industri, program ini juga menargetkan pembukaan sepuluh juta lapangan kerja baru di tahun 2030. Sehingga, walau disrupsi akibat revolusi industri 4.0 mengancam hilangnya banyak lapangan kerja (oleh sebab kehadiran robotika, misalnya), Making Indonesia 4.0 menawarkan pembukaan lapangan-lapangan kerja yang baru.
Secara ideal-konseptual, program ini menawarkan alternatif penyelesaian atas persoalan menahun berupa 'ekonomi sulit'. Tinggal kemudian mengawal implementasinya di lapangan. Kendalanya mungkin klasik: tahun terakhir masa jabatan --baik bagi Presiden Jokowi, maupun bagi Menteri Airlangga Hartanto. Konsekuensinya ada dua. Pertama, katakalanlah Jokowi tidak terpilih lagi, maka program ini belum tentu akan dijalankan. Kita sudah terbiasa mensaksimatai bagaimana "ganti pemimpin ganti program tidak peduli sebagus apapun program tersebut".
Kedua, sebelum kita memutuskan sejauh mana kans Jokowi di periode kedua, yang mula-mula harus kita pertimbangkan adalah bahwa di tahun terakhir masa jabatan, baik Jokowi dan Airlangga Hartanto mesti terpecah konsentrasinya. Mesti juga memasang satu kaki untuk 2019. Mesti mempertimbangkan elektabilitas menuju pilpres. 'Kebetulan', Jokowi dan Airlangga Hartanto berada di satu perahu. Ketua Umum Partai Golkar itu bahkan diusulkan sebagai salah satu calon di bursa cawapres Jokowi. Dengan demikian, kita bisa menduga bahwa Making Indonesia 4.0 dapat menjadi nilai-jual sekaligus (salah satu) program andalan mereka.
Tinggal kemudian melihat kembali: apakah program semacam ini seksi secara politis? Atau, orang lebih tertarik pada obrolan tentang religiusitas dalam politik praktis? Jika ya, sejauh mana nantinya Airlangga Hartanto mampu mengekskalasi elektabilitas Jokowi? Sedang nama Airlangga Hartanto bahkan tidak muncul dalam rilis survei Populi Center menyambut Pilpres 2019. Belum lagi 'potensi' serangan berupa rangkap-jabatan di tahun-tahun terakhir kepemimpinan Airlangga di Kementerian Perindustrian. Dan, di antara semua pertimbangan tersebut, disrupsi teknologi semakin mendorong Indonesia untuk hijrah 4.0. Siapkah kita?
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini